Derita -->

Advertisement

Derita

Admin
Senin, 09 Juli 2018

Ilustrasi
Ibnul Qayyim al Jauzi disiksa oleh penguasa di zaman hidupnya dengan cara unik. Ia dipenjara sendiri, tanpa teman, bertahun-tahun dan terus menerus digerogoti sepi. Tak ada siksaan yang begitu dahsyat bagi pemikir selain situasi yang membuatnya tak bisa berpikir, atau tak mungkin menyampaikan pemikirannya. Toh Ibnul Qayyim al Jauzi tak pernah berhenti berpikir. Meski ia akhirnya meninggal dalam penjara yang sepi.

Sayyid Quth demikian pula, 12 jam dalam sehari ia dipaksa mendengar ceramah Gamal Abdul Naseer dan doktrin-doktrin para pejabat tinggi Mesir lainnya. Ia dikurung dalam sel yang sempit dengan 40 orang kriminal sebagai temannya. Secara logika, tak mungkin ia bisa menularkan buah pikiran yang cemerlang dalam kondisi demikian. Tapi dalam kondisi seperti itu justru, master piecesnya, Fi Dzilal al-Qur'an lahir dan menjadi fenomena. Sebelum akhirnya tiang gantungan menjadi takdir jalannya menuju syahid. Suatu ketika, Abdullah bin Hambal, anak dari Imam Hambali bercerita.

Sebelum penjara dan siksa mendera ayahnya, setiap hari ia biasa menjumpai imam fiqih itu mendirikan shalat hingga 300 rakaat. Tapi setelah cambuk melemahkan sendi-sendinya, hanya 150 rakaat shalat yang ia dirikan setiap harinya. Itu hanya satu dari kegiatannya. Kegiatan lain, ia meneliti ribuan hadits, menelusuri satu persatu sanadnya, dan kemudian merumuskan fatwa-fatwa yang dibutuhkan umat kala itu. Saat ia meninggal, ratusan ribu manusia, meruah di Baghdad. Tak hanya Muslim, tapi juga Yahudi dan Nasrani. Mereka merasa kehilangan seorang pemikir.

Kian tua zaman, seharusnya kian arif penghuninya. Tapi apa boleh buat, tidak selamanya pepatah benar adanya. Kian tua zaman, yang terjadi justru, kian tak banyak orang yang berpikir, apalagi memberi fatwa. Terlalu banyak di antara kita yang lebih senang berpikir instan, daripada berpikir dalam. Dan segala sesuatu yang bersifat instan begitu diminati. Sebaliknya, keseriusan adalah melelahkan. Ketika semua orang berebut tampuk kepemimpinan, juga sebuah sign.

Sebuah pertanda bahwa jangan lagi berharap keseriusan dan kedalaman. Hampir tak ada lagi. Sebab, tampaknya, pemimpin-pemimpin yang maju kini tak mengerti benar filosofi kepemimpinan. Leiden is Lijden, begitu kata H Agus Salim. Memimpin adalah menderita. Tapi kini yang ada adalah, memimpin dan bahagialah. Lijden, derita, adalah kata yang jauh dari seorang pemimpin. Jangankan menderita, melayani pun mereka sudah lupa caranya. 

Jika hari ini kita mendapat berpasang-pasang calon pemimpin menampilkan diri, belum tentu mereka siap menderita, juga melayani. Jangan-jangan bagi mereka, rakyat dan negara hanya berarti eksploitasi. Sekali lagi, kita harus mengurut dada, karena ini sama sekali bukan pertanda bahwa kita akan segera keluar dari kelangkaan imam yang akan memimpin kita dengan dengan iman. Wallahu a'lam bish-shawab. Shalallahu 'alihi wa salam. Subhanakal lahuma wa bihamdika...*