LP Cianjur Harus Menjadi Contoh -->

Advertisement

LP Cianjur Harus Menjadi Contoh

Admin
Jumat, 11 Mei 2018

Lapas Cianjur / detik.com
Akhir-akhir ini sering terjadi kerusuhan dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP). Entah apa masalah sebenarnya. Tapi mereka seharusnya dapat mencontoh pada LP Cianjur. 

Apa menariknya?
Berikut tulisannya!

Mengenai tempat tahanan di Kab. Cianjur hanya ada satu, yaitu Lembaga Pemasyarakatan (LP) kelas B beralamat di sebrang gudang aspal, tepatnya Jl. Aria Cikondang. Misi dan fungsinya sama dengan LP-LP lain di Indonesia.

LP Cianjur bisa menjadi contoh bagi lapas-lapas lain di Indonesia. Menurut Kepala Lapas Cianjur Yuniarto, jumlah warga binaan saat ini sebanyak 787. Itu berasal dari berbagai daerah tapi kebanyakan warga Cianjur. Mereka sehingga masuk LP ini lantaran berbagai kasus. Dikatakan Ka Lapas Cianjur, para tahanan dalam LP ini ada yang nunggu sesuai dengan keputuasn vonis pengadilan, ada juga yang masih menjalani proses sidang di Pengadilan Negeri (PN) Cianjur. "Untuk warga binaan di Lapas Cianjur harus lebih baik. Wajib mengikuti kegiatan keagamaan," demikian kata Yuniarto Jumat (11/5/2018).

Memang dalam LP Cianjur ini tak asing lagi kalau rekan-rekan media masuk LP Cianjur saat ada keperluan, baik untuk silaturahmi, konfirmasi, liputan kegiatan organisasi masyarakat, maupun persahabatan olahraga sepak bola dengan para napi di lapang Lapas Cianjur ini. Karena disamping giat dalam keagamaan, mereka juga punya tim sepakbola. 

Warga binaan sudah terbiasa disiplin terutama bidang keagamaan atau sentuhan qolbu. Karena di sana ada sebuah masjid dan tempat pengajian belajar Al-Quran, hadis, iqra hingga kitab kuning dengan metode belajar cukup bagus. Yang menariknya adalah penerapan sistem pesantren terpadu. Maka para warga binaan sudah biasa disiplin, dimana waktu shalat mereka antri ambil air wudu dan masuk masjid. "Semua warga binaan disebut santri atau santriawati," ucapnya.

Menarik kedua, adalah adanya pesantren terpadu Lapas Cianjur yang digagas oleh Kepala Lapas Cianjur yang dulu, non muslim bernama Sahat Philips Parapat. "Padahal beliau non muslim. Tapi beliau mencoba menyesuaikan dengan kultur masyarakat Cianjur yang agamis," tuturnya. 

Dalam pengajian mereka adalah dilakukan secara rutin. Mereka dibina, diajarkan ilmu-ilmu agama seperti layaknya kepada anak sekolah atau di pesantren secara terprogram, dan ada kurikulumnya. Jadi, mereka terbekali ilmu-ilmu agama. Sehingga diharapkan, jika kembali ke masyarakat membawa pengalaman yang baik. Lagi pula mereka memiliki cita-cita mulia untuk hidup lebih baik. Dengan belajar dasar-dasar Al-Quran, dan kitab kuning sehingga mereka mendapat ilmu bermanfaat. Karena hidup tanpa ilmu maka ketika melaksanakan ibadah pun tidak akan sempurna. (tas/rus).