Kuasa -->

Advertisement

Kuasa

Admin
Minggu, 27 Mei 2018

Ilustrasi 
Sebelum jadi seperti sekarang (saat ini), pada masanya, Tokyo adalah kota kayu. The woden city. Hampir seluruh bangunan di Tokyo yang sudah padat sejak dulu terbuat dari kayu. Dan seperti Tokyo, hampir semua kota di Jepang, adalah kota kayu, dulu. Tak terkecuali dengan Hiroshima dan Nagasaki. Dua kota yang menjadi saksi, sekaligus korban dari kekejian atas kemanusiaan. 

Ketika baru belajar sejarah, saya berpikir, Hiroshima dan Nagasaki dihancurkan dengan bom nuklir ketika dua kota ini dalam keadaan utuh, tak kurang suatu apa. Tapi tidak demikian sepertinya. Beberapa hari sebelumnya, Perwira Amerika, komandan yang memimpin serangan penerbang, Curtis Le May, telah membuat Tokyo benar-benar lantak. Ribuan bom diluncurkan dari pesawat B-29 yang membakar Tokyo dan menewaskan tak kurang 100.000 jiwa dalam semalam. Laki-laki, perempuan, orang-orang jompo dan anak-anak, semua terbantai dan terpanggang dalam semalam.

Robert S.McNamara, mantan Menteri Pertahanan AS di zaman Kennedy dan Lyndon Johnson, mengerti benar seperti apa Jepang dihancurkan. Dalam sebuah film dokumenter yang begitu menghebohkan publik, The Fog of War, ia menyebutkan Tokyo kurang lebih sebesar New York kini, dan 51 persen dari wilayah itu hancur, hangus, rata dengan tanah. Tak hanya Tokyo yang hancur, tapi juga 67 kota lain di negeri Matahari Terbit itu. McNamara merinci, Yokohama 58 persen wilayahnya, hancur. Toyoma, 99 persen hancur. Nagoya, 40 persen hancur. Osaka, 35,1 persen hancur. Kobe 55,7 persen hancur, Kure 41,9 hancur, Omuta 35 persen hancur. Wakayama 50 persen hancur, masih banyak kota besar lainnya yang tak luput dari kekejian Amerika. Dan bayangkan sodaraku! 

Dalam kondisi seperti itu, dua bom nuklir berkekuatan dahsyat dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki. Tapi dengan ringan dan tenangnya, Curits Le May mengatakan, "Jika kita yang kalah, maka kita yang akan jadi penjahat perangnya."

Begitulah secuplik kisah betapa manusia menjadi sesuatu yang seringan debu dalam pertimbangan Paman Sam. Jika detik ini menjumpai skandal penyerangan Afghanistan, Irak, dukungan untuk Israel yang terus menerus menumpahkan darah di Palestina saat ini. Masyaallh. Sudah dua kali habis Jumatan harus berjatuhan korban. Kekejaman Israel yang didkung Amerika yang, sama sekali bukan barang baru untuk Amerika dan Israel. 

Apalagi hanya sekadar Skandal Abu Ghuraib atau niatnya mengirim pasukan ke Selat Malaka. Pun kabar yang bikin dunia kaget, janji pertemuan Trump dan Kim dimediatoran pimpinan Korsel, semua bak obrolan sambil makan kacang belaka. Kemudian di hadapan kekuasaan begitu ringkih dan rentan. Dan jika kini kita dapati berbondong-bondong manusia menghamba pada kekuasaan, berharap restu pada kekuasaan, maka kemanusiaan harus meningkatkan kewaspadaan.

Terlebih jika kekuasaan tersebut begitu besar memberikan orientasinya pada survival of the fittes, yang kuat adalah yang bertahan. Peradaban seperti inilah yang akan kita warisi jika Barat memenangkan perebutan. Peradaban yang sumir dan berbau anyir.

Full yakin dan percaya, hanya pada kekuasaan yang beralaskan iman dan harapan pada sebuah akhir perjalanan hidup yang indah, manusia bisa berharap. Kekuasaan yang mencoba meraih dengan gigih sebuah cita-cita memuliakan manusia. Kekuasaan yang tidak lain hanya mencari sebuah akhir. Ridha Allah SWT Yang Maha Mencinta. Subhanallah.