Alasan Revisi UU ITE -->

Advertisement

Alasan Revisi UU ITE

Selasa, 23 Februari 2021


JCS - Rencana revisi Undang-undang (UU) No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) mencuat setelah Presiden Joko Widodo menyatakan implementasi beleid tersebut yang kerap merugikan masyarakat.


Pernyataan Jokowi itu disampaikan dalam pembukaan Rapat Pimpinan TNI-Polri di Istana Negara, Jakarta, Senin lalu


Menurut Jokowi, belakangan semakin banyak warga yang saling melapor ke pihak kepolisian dengan merujuk pada dugaan pelanggaran UU ITE.


Ia tidak ingin implementasi UU tersebut justru menimbulkan rasa ketidakadilan. Jika UU ITE tak bisa memberikan rasa keadilan, kata Jokowi, ia bakal minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi UU ITE ini.


"Karena di sini lah hulunya, hulunya ada di sini, direvisi, terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak," ujar Jokowi.


Wacana revisi UU ITE tersebut ditanggapi secara positif oleh para aktivis, lembaga swadaya masyarakat, bahkan sejumlah politisi DPR.


Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network ( Safenet) Damar Juniarto mengatakan, pernyataan Jokowi yang mewacanakan revisi UU ITE adalah momentum yang baik untuk proses penegakan hukum di Indonesia.


Ia berharap jika revisi UU itu jadi dilakukan maka benar-benar menyentuh aspek substantif dan menghilangkan pasal-pasal yang bermasalah.


Damar menjelaskan setidaknya ada empat pasal bermasalah dan seharusnya dihapuskan dari UU ITE yaitu Pasal 27 Ayat 1, Pasal 27 Ayat 3, Pasal 28 Ayat 2, dan Pasal 29.


"Pasal-pasal itu lebih baik dihapus. Karena, pertama rumusannya multitafsir. Kedua terjadi duplikasi hukum, yaitu ada permasalahan sudah diatur di KUHP tapi ada juga di UU ITE," kata Damar.


Jika saat ini pemerintah membuka wacana untuk revisi UU ITE, Damar mengaku siap memberikan masukan untuk perubahan yang akan terjadi pada UU itu ke depannya.


Menurut Damar, UU ITE penting untuk direvisi karena tidak hanya membawa dampak hukum saja, namun juga memberi dampak politik dan sosial di masyarakat.


"Dampak politiknya adalah UU ITE sekarang ini melenceng dari niatan awal, dan dia digunakan oleh politik dan kekuasaan untuk menjatuhkan lawan-lawannya," ucap Damar.


"Sedangkan dampak sosial yang terjadi adalah robeknya jalinan sosial di masyarakat. UU ITE digunakan untuk lapor melapor, balas dendam, barter kasus, dan hal-hal lain yang justru jauh dari aspek keadilan," kata dia.


Adapun Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid menyatakan, parlemen siap untuk membahas kembali UU ITE sebagaimana yang diusulkan oleh Presiden Jokowi.


Meutya mengatakan, revisi UU ITE dapat diajukan oleh Pemerintah, sehingga DPR akan menunggu Pemerintah untuk memasukkan usulannya tersebut.


"Terkait usulan dari Presiden Joko Widodo untuk merevisi UU ITE, kami menyambut baik dan siap untuk membahas kembali UU ITE.Revisi UU ITE bisa diajukan pemerintah, sehingga DPR akan menunggu pemerintah memasukkan usulannya terkait hal tersebut,” kata


Politikus Partai Golkar itu nenuturkan, DPR terus menerima masukan dari masyarakat dan akademisi terkait UU ITE setelah UU tersebut pertama kali direvisi pada 2016 lalu menjadi UU Nomor 19 Tahun 2016.


"Kami juga berharap akan ada peningkatan literasi digital, agar masyarakat aware terhadap penggunaan media sosial,” ujar Meutya. (Tas)