Isu Dugaan Match Fixing Menyerbu Kompetisi Liga 3 2018 -->

Advertisement

Isu Dugaan Match Fixing Menyerbu Kompetisi Liga 3 2018

Selasa, 11 Desember 2018

Ilustrasi suap
Sebutan Match fixing alias pengaturan skor pertandingan saat ini menjadi sebuah momok yang membuat publik geram akan pelaku-pelakunya. Karena telah merusak citra sepak bola Indonesia yang saat ini sedang berjuang ke arah yang lebih baik.

Kali ini, dugaan match fixing kembali menyeruak pada ajang sepak bola Liga 3 musim 2018. Sebelumnya, dugaan match fixing itu baru mengemuka menjelang genderangnya hiburan sepak bola nasional musim 2018, baik Liga 1, 2, dan 3. 

Jelas, insiden ini sangat meresahkan pencinta sepak bola Indonesia. Kejadian-kejadian yang paling terlihat bahwa ada dugaan match fixing adalah ketika kompetisi Liga 2 2018 memasuki babak delapan besar. Beberapa klub dianggap telah 'main mata' dengan mafia sepak bola.

Dimana klub asal Jawa Timur PS Mojokerto Putra dianggap mendapat keuntungan dari mafia sepak bola. Karena hampir seluruh pertandingan di kandang PS Mojokerto Putra tak pernah kalah dan di tiap laga selalu mendapat hadiah penalti dari wasit.

Sehingga permainan yang semestinya berjalan tentang adu strategi malah berbuah pertarungan untuk memainkan laga sesuai rencana si pelaku judi sepak bola. Skor pertandingan pun telah ditetapkan sebelum laga dimulai.

Isu dugaan match fixing menyerbu kompetisi Liga 3 2018. Apalagi Liga 3 2018 telah menyelesaikan babak 32 besar dan kini menatap 16 besar serta sekarang telah masuk babak delapan besar.

Match fixing yang menyeruak ke permukaan publik pertama dialami oleh klub sepak bola asal Flores, Nusa Tenggara Timur, PS Ngada. PSN Ngada mengaku diajak untuk patungan membayar uang senilai Rp200 juta untuk lolos ke babak 16 besar.

Seperti ditulis Indosport, Selasa (11/12/2018) bahwa hal itu diungkapkan oleh pelatih PS Ngada Kletus Marselinus Gabhe. Dirinya juga menyebutkan kalau upaya mengatur skor itu diajak oleh manajer Persekam Metro FC Bambang Suryo (BS) melalui sambungan telepon sebelum laga.

"Saya punya bukti rekaman diajak untuk membayar sejumlah uang. Kemudian mengatur untuk bisa lolos ke 16 besar. Rp200 juta satu paket (patungan). Tapi saya mengatakan kami tak punya uang," beber Kletus dalam konferensi pers, Senin (03/12/18).

Kletus mengaku punya bukti A1 seperti rekaman percakapan dengan Bambang Suryo. Pelatih PS Ngada ini juga telah melaporkan ke Komisi Disiplin (Komdis) PSSI tentang ajakan suap. "Selesai bertanding kapan, katakanlah paling cepat kalau tuhan memberkati kami bisa lolos terus ke 16 besar dan masuk 8 besar, berarti paling cepat setelah 22 Desember saya siap dipanggil," jelas Kletus

Selain itu, ada klub Liga 3 lainnya asal Mamuju, yakni OTP37 yang juga mengaku ditawari uang agar mengalah saja jelang melawan PSBK Blitar di Stadion Soepriyadi, Blitar, Kamis (29/11/18) lalu, pada babak 32 besar Liga 3 2018.

Tawaran match fixing ini terungkap usai kapten OTP37 Michael Aditya Wijaya mengaku kalau dirinya diminta mencari lima sampai enam pemain untuk diiming-imingi uang Rp5 juta agar tak bermain maksimal.

"Pelatih kami lapor ke manajemen dan memutuskan kami harus melawannya. Kami harus bermain bola secara fair dan tetap fight pada laga tersebut," tutur Aditya dalam surat kabar Jawa Pos terbitan Senin (03/12/18).

Ancaman untuk mengalah saja ternyata menjadi kenyataan karena pertandingan PSBK Bliitar vs OTP37 sudah dianggap pihak tim tamu berat sebelah. Sehingga laga yang baru berjalan 12 menit berakhir begitu saja.

Kendati begitu entah apa yang akan dilakukan pihak OTP37 pasca mengalami insiden memalukan di dunia sepak bola ini. Namun besar harapan kalau OTP37 mampu memperjuangkan dugaan tersebut.

Kemudian salah satu klub Jawa Tengah Persibara Banjarnegara yang ternyata juga menjadi korban dalam praktik  match fixing pada kompetisi Liga 3 2018. Persibara dijanjikan untuk bisa tembus ke Liga 2 2019 dengan mulus.

Lewat manajer Persibara Lasmi Indrayanti menerangkan kalau klub yang dipimpinnya ini dihubungi oleh terduga pelaku match fixing untuk bersedia menjadi tuan rumah pada babak 32 besar putaran nasional.

"Kami menolak tawaran itu. Tetapi terus digiring untuk setor karena katanya banyak keperluan. Untuk lolos di 32 besar itu katanya kami harus bersedia menjadi tuan rumah," kata Lasmi seperti dikutip Kompas, Jumat (30/11/18).

Buntut dari kekecewaan pada dunia sepak bola Indonesia, Lasmi memilih untuk mundur dari jabatan manajer Timnas Putri Indonesia U-16 dan pengurus Asprov PSSI Jawa Tengah. Tetapi tetap berusaha berkontribusi dalam dunia olahraga Banjarnegara.

"Awalnya kami buta soal sepak bola. Tetapi kalau dengar soal mafia sepak bola, ya dengar. Namun kami benar-benar shock usai mengalaminya. Ternyata sangat parah. Jadi kami memilih mundur saja," ungkapnya.

Hal-hal diatas menjadi sebuah tamparan keras untuk PSSI dan para pelaku sepak bola nasional. Bahwa bahaya laten mafia sepak bola di Indonesia sudah sangat gawat dan kronis.

Kemungkinan bisa saja ada klub-klub Liga 3 lainnya yang menjadi korban match fixing. Akan tetapi suara mereka tidak didengar oleh siapapun dan kejadian ini mengendap begitu saja. Maka, dalam upaya memberantas mafia sepak bola Indonesia, hanya ada satu kata, lawan! (sa/tas)