Regulasi Kendaraan Elektrik -->

Advertisement

Regulasi Kendaraan Elektrik

Sabtu, 10 November 2018

Kendaraan elektrik. (Net)
Keseriusan Indonesia mengembangkan kendaraan listrik dibuktikan dengan Perpres yang kini sedang dikaji dan menanti tanda-tangan Jokowi. Dari situ Indonesia punya target 20 persen untuk produksi kendaraan emisi karbon rendah (Low Carbon Emission Vehicle/LCEV) pada 2025.

Untuk memulainya pemerintah merangsang produsen otomotif untuk menciptakan kendaraan ramah lingkungan di Indonesia. Ini untuk menghindari Indonesia hanya dijadikan sebagai perakit dan pengimpor mobil ramah lingkungan.

Gayung bersambut, pelaku otomotif menyambut baik pengembangan kendaraan ramah lingkungan tersebut. Produsen otomotif bahkan berharap pemerintah mendukung investasi.

Pada prakteknya, Research and Development (R&D) sangat penting karena Indonesia belum memiliki persiapan apapun untuk menunjang kendaraan listrik di antaranya Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU). Para pelaku industri komponen otomotif di dalam negeri pun masih sibuk memenuhi kebutuhan kendaraan konvensional.

Namun ada secercah harapan memproduksi kendaraan listrik di Indonesia. Indonesia punya sumber daya alam untuk pembuatan komponen baterai mobil listrik di Halmahera Tengah. Dua bulan lalu, di daerah sana pun telah diresmikan kawasan industri terpadu yang diharapkan memenuhi kebutuhan kendaraan listrik di Indonesia.

Kawasan industri tersebut diketahui bakal mengolah deposit bijih nikel dan 30kt/Ni Nickel Pig Iron, dengan salah satu produk akhirnya adalah baterai lithium-ion untuk kendaraan listrik.

Kawasan industri yang memiliki luas tanah sekitar 2.000 hektare itu ditargetkan akan rampung paling cepat dua tahun lagi dengan salah satu pemodalnya merupakan perusahaan patungan dari tiga investor Tiongkok yaitu Tsingshan, Huayou, dan Zhenshi.

Nilai investasi di sana mencapai US$10 miliar atau sekitar Rp144 triliun. "Otomotif nasional diharapkan menjadi basis produksi kendaraan bermotor baik Internal Combustion Engine (ICE) maupun Electrified Vehicle (EV) untuk pasar domestik dan ekspor.”

Kawasan 'hijau' jauh di sana seakan memberi semangat para pelaku industri otomotif yang belakangan mulai intens bekerja sama dengan pemerintah melakukan studi terkait kendaraan listrik.

Kajian proyek mobil listrik juga melibatkan lima universitas, yaitu UI, ITB, UGM, UNS, dan ITS, serta BPPT dan LIPI supaya lebih mengenal teknologi kendaraan listrik, kemudian fokus pada komponen apa saja yang bisa diproduksi supaya perjalanan kendaraan listrik di Indonesia kian mulus.

Paling fundamental dari percepatan kendaraan listrik adalah regulasi, yang menegaskan kehadiran kendaraan listrik di Indonesia. Yang tak kalah penting kebijakan pajak insentif dari Kementerian Keuangan demi memangkas harga jualnya.

"Sehingga untuk mengharmonisasikan masukan-masukan yang ada, memang membutuhkan proses pembahasan yang cukup lama agar memastikan bahwa arah kebijakan dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya dalam mendukung tumbuhnya industri otomotif nasional," ucap Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika.

Regulasi ini nantinya memberi kesempatan manufaktur dan industri komponen otomotif membangun industri kendaraan listrik Indonesia yang diharapkan setara negara-negara berkembang.

Di Indonesia, kendaraan ramah lingkungan yang diprediksi berkembang adalah Hybrid Electric Vehicle (HEV), Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV), dan Battery Electric Vehicle (BEV).

Seperti kita ketahui, pemerintah telah membuat rumusan regulasi ini melalui harmonisasi Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan itu tertuang dalam program Low Carbon Emission Vehicle (LCEV), termasuk kendaraan listrik di dalamnya.

Aturan ini menjelaskan bahwa bentuk kendaraan roda empat tidak bakal dijadikan sebagai tolak ukur untuk menentukan besaran pajak. Tapi ke depan pajak akan dihitung berdasarkan emisi gas buang yang dikeluarkan oleh kendaraan tersebut.

PPnBM yang dimaksud mencakup Low Cost Green Car (LCGC) jilid dua, Low Carbon Emission Vehicle (LCEV), serta Flexy dan Compressed Natural Gas (CNG).

Sebagai contoh, pada program LCEV untuk kadar emisi CO2 kendaraan di bawah 100 gram per kilometer maka dikenakan PPnBM nol persen, jika emisi CO2 sebesar 101-102 gram per km dikenakan dua persen, dan 126-150 gram per km sebesar lima persen. Aturan tersebut berlaku untuk mobil hybrid dengan mesin bakar kategori di bawah 1.500 cc dan 1.500 cc sampai 3.000 cc.

Selain masalah insentif pajak, faktor lain yang harus disiapkan demi memuluskan hadirnya kendaraan listrik adalah stasiun pengisian. Kementerian ESDM menjanjikan 10 ribu SPLU berdiri pada 2025 yang tersebar di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) dan tempat strategis lain. Target ini harusnya tercapai demi kelancaran evolusi kendaraan listrik.

Infrastruktur SPLU ini telah disepakati dan pengerjaannya dilaksanakan oleh badan usaha bidang energi yang memiliki surat Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (IUPTL). Selain itu penugasan pertama diserahkan kepada PLN dan dapat bekerja sama dengan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) bidang energi lainnya.

Pakar ekonomi Faisal Basri menyarankan SPLU untuk kendaraan listrik harus menggunakan sumber listrik dari energi yang bersih. Artinya seperti memanfaatkan sinar matahari. Konsep ini membangun sistem panel surya sebagai pusat pengisian energi mobil listrik yang bisa menekan biaya.
"Jadi mereka nanti ngisi daya ke kendaraan listrik bisa pakai tenaga bersih," kata Faisal.

Salah satu keunggulan kendaraan listrik adalah tidak mengeluarkan suara, namun kelebihan itu justru menjadi kekurangan. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menilai jika tanpa suara membuat kendaraan listrik tak bisa diantisipasi pengendara lain dan pejalan kaki.

Kemunculan ribuan bahkan jutaan kendaraan listrik bukannya tanpa catatan. Minimnya suara dari kendaraan listrik justru berpotensi mencelakakan para pejalan kaki.

Kepala Sub Direktorat (Kasubdit) Uji Tipe Kendaraan Bermotor Indonesia Kemenhub Dewanto yang turut memantau pergerakan industri mobil listrik dunia mengatakan bahwa berbagai cara dirancang untuk melindungi pejalan kaki. 

Berbagai cara dilakukan hingga muncul Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. 33 Tahun 2018 tentang Pengujian Tipe Kendaraan Bermotor yang mengatur suara pada kendaraan listrik. “Karena lihat di bandara (mobil listrik), orang suka tidak sadar ada mobil di belakangnya, senyap sekali mobil itu. Tidak ada suara dan safety-nya malah membahayakan," ucap Dewanto.

Training Director Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC) Jusri Pulubuhu mengakui kendaraan listrik mengeluarkan suara bukan kunci keselamatan di jalan raya. Mobil listrik bersuara tetap mengancam pejalan kaki jika perilaku pengendara tetap buruk dan tidak menghormati pengguna jalan lain.

"Jadi pada dasarnya suara tidak mempengaruhi peluang kecelakaan. Makanya konteks yang harus diperhatikan adalah tertib berlalu lintas,” ucap Jusri. Secara teknis kendaraan listrik harus mengeluarkan suara untuk meningkatkan keselamatan. Permenhub baru ini adalah bentuk konkret dukungan kepada kendaraan listrik di Indonesia.

Kendaraan listrik boleh mengeluarkan suara, dengan syarat tidak mengeluarkan suara musik, hewan, sirene hingga klakson. Cukup suara peringatan yang tetap menjaga konsentrasi pengendara lain. Ketika tren kendaraan berbasis listrik terus kembang, dan banyak orang menggunakannya, di situ suara knalpot akan sangat dirindukan. (sa/net)