Waspadai Gempa & Cekungan Bandung -->

Advertisement

Waspadai Gempa & Cekungan Bandung

Sabtu, 06 Oktober 2018


JCS - Mengenai gempa dalam ilmu geografi  dapat simpulkan bahwa seberapa parah kerusakan akibat gempa dipengaruhi oleh jenis lapisan tanah yang dilewati sesar aktif. Semakin lembek lapisan tanahnya, maka semakin besar gelombang kejut yang dirasakan ke segala arah. 

Pembaca JCS, saat ini, salah satu sesar aktif yang sedang ramai dibicarakan dan mendapat banyak sorotan adalah sesar Lembang di Jawa Barat. Bandung berada di wilayah Provinsi Jawa Barat yang tingkat kerentanan bencananya termasuk tinggi. Terlebih, kota kembang ini adalah ibu kota provinsi. 

Mudrik Rahmawan Daryono, peneliti gempa dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebut sesar Lembang aktif dan terbentang sejauh 29 kilometer dari kecamatan Ngamprah, Cisarua, Parongpong, hingga Lembang atau titiknya dari Batu Loceng sampai Padalarang (Ciburuy). 

Namun, para ahli belum dapat memperhitungkan periode berulang gempa akibat sesar Lembang karena keterbatasan catatan sejarah gempa. Meski begitu, ahli dapat meramalkan bagaimana dampak gempa yang dipicu sesar Lembang. Menurut analisis ahli dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Adrin Tohari, aktivitas kegempaan dari sesar Lembang dapat bergerak ke segala arah dan salah satu daerah yang terdampak adalah cekungan Bandung. 

Seperti diberitakan, kawasan Bandung dan sekitarnya bisa diibaratkan mangkuk bentukan bumi ratusan ribu tahun lalu. Bentangan alam itu biasa disebut Cekungan Bandung. Cekungan Bandung berbentuk elips dengan arah timur tenggara-barat laut, dimulai dari Nagreg di sebelah timur sampai ke Padalarang di sebelah barat. 

Nah, menurut penelitian Adrin, lapisan tanah yang ada di cekungan Bandung didominasi oleh lapisan tanah yang lunak. "Karena dia (cekungan Bandung) dulunya danau purba, maka lapisan tanahnya didominasi tanah lunak seperti lempung yang ketebalannya bisa mencapai 25 sampai 30 meter," urai Adrin, Jumat (5/10/2018). 

Adrin melanjutkan, di bawah lapisan tanah lempung merupakan tanah pasir, dan pada kedalaman sekitar 70 meter baru ditemukan adanya lapisan batuan. "Karena kondisi tanahnya lunak, maka goncangan gempa akan mudah diamplifikasi (atau) dibesarkan. Jadi goncangan yang dirasakan akan kuat, walaupun katakan sumber gempa ada di zona subduksi selatan Jawa," terangnya. 

Dicontohkan Adrin, ketika gempa berkekuatan 7,3 yang pernah mengguncang Tasikmalaya pada 2009, getarannya dirasakan sampai Bandung. "Kuat juga itu, padahal jaraknya ratusan kilometer," imbuhnya. Ibaratnya, lanjut Adrin gempa yang terjadi di tanah lunak sama seperti adonan kue yang digoyang maka permukaannya akan bergelombang. 

Fenomena yang disebut amplifikasi ini berbeda dengan fenomena likuefaksi. Bila likuefaksi terjadi pada tanah berpasir, maka amplifikasi goncangan terjadi di tanah lempung. "Kalau likeufaksi adalah akibat goncangan gempa pada lokasi yang jenuh air. Nah, kalau tanah lunak dia enggak bisa mengalami likuefaksi karena dia masih memiliki daya rekat antar partikel tanah," jelasnya. 

Menurut Adrin, untuk wilayah dengan kondisi tanah seperti ini, antisipasi yang bisa dilakukan menurut Adrin adalah membuat bangunan dengan pondasi kuat yang harus ditanam sampai lapisan tanah keras. "Kemudian kalau struktur atas, baik bangunan tinggi maupun rumah hunian, struktur tulangnya harus kuat untuk menerima goncangan," ucapnya. (tas)