Totalitas Mencinta -->

Advertisement

Totalitas Mencinta

Admin
Minggu, 02 September 2018

Ilustrasi 
Cinta adalah laku-laki yang melangkah membangun samudera kebaikan. Cinta adalah tangan-tangan yang merajut hamparan permadani kasih sayang. Cinta adalah hati yang selalu berharap dan mewujudkan dunia dan kehidupan yang lebih baik.

Sseorang profesor pendidikan University of Southern California, Amerika bernama Leo F Bucagila. Ia dengan seabreg kegiatan sosial dan ceramah-ceramah tentang pendidikan. Satu tema yang terus menerus dibawanya banyak ceramah, adalah tentang cinta.

"Manusia tidak jatuh ke dalam cinta, dan tidak juga keluar dari cinta. Tapi manusia tumbuh dan besar dalam cinta," begitu katanya.

Cinta, dibanyak waktu dan peristiwa orang selalu berbeda mengartikannya. Tak ada yang salah, tapi ada juga yang benar sempurna penafsiarannya. Karena cinta selalu berkembang, ia seperti udara yang mengisi ruang kosong. Cinta juga seperti air yang mengalir ke daratan yang lebih rendah. 

Tapi ada satu yang bisa kita sepakati bersama tentang cinta. Bahwa cinta, akan membawa sesuatu menjadi lebih baik, membawa kita untuk berbuat sempurna. Mengajarkan pada kita betapa besar kekuatan yang dihasilkannya. Cinta membuat dunia yang penat dan bising menjadi terasa indah, paling tidak bisa kita nikmati dengan cinta.

Cinta mengajarkan pada kita, bagaimana caranya harus berlaku jujur dan berkorban, berjuang dan menerima, memberi dan mempertahankan. Bandung Bondowoso tak tak tanggung-tanggung membangunkan seluruh jin dari tidurnya dan menegakkan seribu candi untuk Roro Jonggrang seorang. Sangkuriang tak kalah dahsyatnya, diukirnya tanah menjadi sebuah talaga dengan perahu yang megah dalam semalam demi Dayung Sumbi terkasih yang ternyata ibu sendiri. Taj Mahal yang indah di India, di setiap jengkal marmer bangunannya terpahat nama kekasih buah hati sang raja juga terbangun karena cinta.

Pembaca JCS, bisa jadi, semua kisah besar dunia, berawal dari cinta. Dan Isalam tidak saja mengagungkan cinta tapi memberikan contoh konkrit dalam kehidupan. Lewat kehidupan manusia mulia, yakni Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam tercinta.

Ada sebuah kisah tentang totalitas cinta yang dicontohkan Allah Subhanahu Wa Ta'ala lewat kehisupan Rasul-Nya. Pagi itu, meski langit menguning, burung-burung gurun enggan mengepakkan sayap. Rasulullah dengan suara terbata memberikan petuah, "Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, sunnah dan Al-Qur'an. Barang siapa mencintai sunnahku, berarti mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan bersama-sama masuk surga bersama aku."

Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang teduh menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan kaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan nafas dan tangisannya. Itsman menghela nafas panjang dan ali menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba. "Rasulullah akan meninggalkan kita semua," desah hati semua sahabat kala itu. Manusia tercinta itu, hampir usai menunaikan tugasnya di dunia. Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fudhal dengan sigap menangkap Rasulullah yang limbung saat turun dari mimbar. Saat itu, seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan menahan detik-detik berlalu, kalau bisa.

Matahari kian tinggi, tapi pintu Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelapah kurma yang menjadi alas tidurnya.

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. "Bolehkah aku masuk?" tanyanya, penuh etika. Tapi Fatimah tidak mengizinkan masuk. "Maafkanlah, ayahku sedang demam," jawab Fatimah yang membalikkan badan dan penutup pintu. Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?" tanya Rasulullah pada Fatimah

Karena Fatimah tidak tahu maka ia menjawab lagi seperti ucapan semula. "Tak tahulah aku ayah, sepertinya ia baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut. lalu, Rasulullah menatap putrinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Satu-satu bagian wajahnya seplah hendak dikenang. "Ketahuliah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malakul maut." kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya.

Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tak ikut menyertai. Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini. "Jibril, jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah?" tanya Rasulullah dengan suara yang amat lemah. 

"Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua Surga terbuka lebar menanti kedatangan mu," kata Jibril. Tapi itu ternyata tak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. "Engkau tidak senang mendengar kabar ini? tanya Jibril lagi. "Kabar kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?" Jawab Jibril, "Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: "Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya," papar Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Tampak seluruh tubuh Rasulullah bersimpuh peluh, urat-urat lehernya menegang. "Jibril, bertapa sakaratul maut ini," lirih Rasulullah mengaduh. fatimah terpejam, Ali di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril membuka muka. 

Jijikah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?" tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu. "Siapa yang tega, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Raulullah memekik, karena sakit yang tak tertahankan lagi. "Ya Allah, dahsyat niat maut ini, timpakan saja semua maut ini kepadaku, jangan pada umatku."

Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushikum bish-shalati, wa maa malakat aimanuku; peliharalah shalat dan santuni orang-orang lemah di antaramu."

Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinga ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. "Ummati, ummati, ummati..." Dan, pupuslah kembang hidup manusia mulai itu. Kini, kita yang dicintai dan dirinduikan Rasulullah, masa tidak mau bershalawat; lantas mampukah kita mencita sepertinya? Wallahu a'lam bish-shawab. Subhanakal lahuma wa bihamdika asyhadu anla ilaha illaa anta astaghfiruka wa atubu ilaiik.*