Ilustrasi |
Kemuliaan bermula dari ilmu yang mengalir menjadi manfaat dan bermuara pada kehidupan yang gemerlap. Tidak gemerlap di depan mata manusia, tapi gemerlap dalam pandangan yang Rahman dan Rahim Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Pembaca JCS, ada enam kata yang diucapkan Nabi kita Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Salam yakni 'Khairun naas, anfa uhum lin naas'. Sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. Itulah PR kita? Seharusnya kalimat itu kita jadikan pertanyan yang diulang-ulang dalam kehidupan. Selalu kita ulang setiap bangun pagi. Manfaat apa yang bisa kita berikan pada manusia hari ini?
Tapi tak bisa memberikan manfaat dengan ilmu yang hanya sedikit. Semakin sedikit ilmu yang kita kuasai, semakin kecil pula manfaat yang mampu kita berikan untuk manusia lain. Seketika saya teringat Syekh Yusuf, yang tahun lalu makamnya sempat saya tengok di Makasar, Sulawesi selatan. Saya sendiri tak yakin benar makam yang di Makasar itu adalah tempat bersemayam ulama besar itu. Tapi tak mengapa, bukan ituyang hendak kita berbincangkan.
Betapa banyak manfaat yang telah diberikan Syekh Yusuf al-Maqassari. Tapi itu semua tak lepas dari betapa kuat pula niatnya menuntut ilmu. Beliau muda, 22 September 1645 untuk pertma kali melangkahkan kakinya denganniat menjenguk Baitullah, berhaji ke tanah suci. Dalam perjalanannya, ia banyak berguru dan menimba ilmu. Banten dan Aceh menjadi saksi tempat perjalanannya bermula.
Sejarah mencatat, hampir 20 tahun ia mengembara dan menimba ilmu. Seluruh jazirah Arab, hingga Yaman ia tapaki untuk mencari ilmu. Dan tatkala niatnya untuk kembali ke kampung halaman, Belanda telah mengangkangi tanah kelahiran. Dan Banten menjadi pilihan kedua. Di daerah ini, bersama Sultan Ageng Tirtayasa ia bahu membahu melawan -berkecamuk melawan penjajah. Sultan Ageng, sahabatnya, memberikan amanah untuk menjadi mufti pula. Tapi sayang, keduanya tak lama bersama.
Kudeta politik sang anak yang didukung oleh Belanda, membuat Sultan Ageng ditawan. Dan perjuangan diteruskan oleh Syekh Yusuf. bergerilya memimpin ribuan orang, untuk berjuang. Tapi itu pun tak lama, ia akhirnya tertawan, nyaris nyawanya lenyap dan dibuang ke Sri Lanka. Itu berarti babak baru perjuangan. Di negeri buangan ini, karena ilmunya, Syekh Yusuf tetap menjadi magnet. Menarik para mufasir dan para jamaah haji yang singgah untuk belajar dan mengambil manfaat darinya. Di tempat pembuangan ini pula Syekh Yusuf menelurkan karyanya tentang jihad melawan penjajah yang segera, lewat tangan para jamaah haji, baik yang pulang ataupun yang budal, beredar dengan cepat.
Tak kuasa membendung manfaat yang muncul dari seorang Syekh Yusuf, akhirnya Belanda kembali membuang ulama pejuang ini lebih jauh lagi. Afrika Selatan menjadi tujuannya kini. Tapi di benua hitam ini, namanya hingga sekarang zaman now bisa kita lacak. Sebuah tanda bukti, Syekh Yusuf tak pernah lelah menebar manfaat. Maka tak berlebihan ia dibergelar Tuanata Salamaka, guru kami yang agung.
Kemuliaan tak pernah datang lewat tahta atau harta. Tahta dan harta hanya pemain figuran belaka yang rentan akan fitnah. Kemuliaan bermula dari ilmu yang mengalir menjadi manfaat dan bermuara pada kehidupan yang gemerlap. Tidak gemerlap di depan mata sesama manusia, tapi mudah-mudahan gemerlap dalam pandangan Yanga Maha Kuasa. Wallahu a'lam. Shalallahu alaihi wa salam. Subhanakal lahuma wa bihamdiik...*