Haringga Sirla Meninggal, Bukan Siapa yang Salah -->

Advertisement

Haringga Sirla Meninggal, Bukan Siapa yang Salah

Admin
Sabtu, 29 September 2018


Lagi dan lagi nyawa suporter sepak bola hilang karena alasan rivalitas. Haringga Sirla tewas dianiaya oknum suporter Persib Bandung di luar stadion GBLA Bandung, Minggu (23/9/2018) jelang maghrib.

Sirla tercatat seorang anggota The Jak Mania dari Koordinator Wilayah (Korwil) Cengkareng, Jakarta Barat. Nyawanya tak tertolong setelah dihabisi oleh segerombolan manusia yang terbakar api emosi karena perbedaan sebuah klub yang didukung.

Ini bukan soal siapa yang salah, tapi merenggut nyawa seseorang karena sepak bola jelas adalah suatu masalah. Yang pasti Haringga Sirla hanyalah seorang suporter fanatik nan loyal yang rela meluangkan waktu dan uangnya untuk bepergian ke tempat-tempat Persija Jakarta bertanding.

Pemuda berusia 23 tahun itu juga menyempatkan diri datang ke beberapa laga Persija di luar Jakarta belum lama ini. Seperti saat Persija dijamu Arema FC di Malang atau saat Ismed Sofyan Cs menjamu PSIS Semarang di Bantul.

Sayangnya, kesetiaan itu berakhir dengan tragis karena rivalitas kelewat batas yang terjadi pada lingkup suporter klub sepak bola Indonesia. "Dia orangnya baik saja, supel. Menurut pada orang tua, jadi tidak badung (nakal), tidak merokok, tidak minum-minum," kata Ketua Korwil The Jak Mania Cengkareng, Bayu Ali Said, dikutip JurnalBola dari BolaSport.com.

"Intinya dia sayang pada orang tua. Dia anak bungsu dari tiga bersaudara. Terakhir bertemu di Bantul (Persija vs PSIS)," ujarnya.

Cerita menjadi semakin pilu jika mendengar pernyataan dari kedua orang tua Haringga. Ayahnya, Siloam Tumangkeng, menuturkan bahwa putranya itu hanya izin pergi ke Bandung.

"Dia pada Sabtu malam izin sama saya mau ke Bandung. Baru pada Minggu pagi dia berangkat ke sana. Cuma, dia sama sekali tidak bilang kalau ternyata mau mendukung Persija," kata Siloam dikutip dari Tribunnews.

"Saudara Pak RW menelepon, dia anggota polisi di Bandung. Saya ditanya 'Apakah benar nama anak ibu Haringga Sirla? Memang ibu tidak tahu?'," kata Mira, ibunda korban, dalam wawancara dengan iNews.

"Anak ibu meninggal, dikeroyok saat menonton sepak bola katanya. Saya langsung gemetar. Haringga bilang tidak menonton. Alasannya cuma main ke rumah teman, bukan menonton sepak bola," sang ibu meratapi.

Perseteruan antarklub atau antarsuporter memang bukan hal yang mudah dihindari. Soalnya, persaingan adalah esensi dari sepak bola itu sendiri, yakni untuk menunjukkan siapa yang terbaik.

Kita pun bisa melihat hal-hal semacam ini pada pertunjukan sepak bola kelas wahid di Eropa atau Amerika Selatan.

Perbedaan antara persaingan dan perseteruan sepak bola Indonesia dengan di luar adalah: sebenci-bencinya suatu kelompok suporter terhadap rival, menghabisi lawan bukan pilihan yang populer.

Kematian karena sepak bola di Indonesia saat ini sudah harus dihentikan. Data dari Save Our Soccer (SOS) menunjukkan bahwa sudah ada 7 korban melayang akibat perseteruan The Jak Mania, suporter Persija, dan bobotoh, yang merupakan suporter Persib Bandung.

Dalam cakupan nasional, SOS mencatat bahwa ini merupakan kasus kematian suporter yang ke-70. Pertanyaannya, mau sampai kapan dan bagaimana menyelesaikan kesemrawutan ini?

Lagi-lagi kita harus merujuk ke sepak bola Eropa, kali ini soal ketegasan pihak terkait dalam menangani permasalahan seperti ini. Seperti saat tewasnya 39 suporter karena serangan suporter Liverpool terhadap pendukung Juventus sesaat sebelum laga final Piala Champions (sekarang Liga Champions Eropa) 1985.

Buntut dari sana, klub-klub asal Inggris dihukum tak bisa ikut serta pada kompetisi antarklub Eropa selama lima tahun. Sementara Liverpool harus absen lebih lama, yakni enam tahun menghilang dari kompetisi antarklub Eropa.

Ketika itu suporter Liverpool berkumpul di Stadion Heysel, Brussels, Belgia pada laga Piala Champions antara Juventus dan Liverpool, 29 Mei 1985. Dari keributan hebat itu sebanyak 39 suporter Juventus meninggal menyusul keributan dengan fans Liverpool.

Ada studi kasus yang unik, tepatnya saat Federasi Sepak Bola Turki (TFF) menjatuhkan sanksi sebanyak dua laga tak boleh ke stadion kepada suporter Fenerbahce pada 2011.

Meski TFF pada akhirnya melunak soal hukuman, mereka tegas bahwa laga bisa ditonton, tapi hanya berlaku untuk penonton wanita dan anak-anak. Hasilnya tak diduga, sebanyak 41 ribu wanita dan anak-anak memenuhi tribune Stadion Sukru Saracoglu, kandang Fenerbahce di Istanbul.

Laga itu merupakan lanjutan Liga Super Turki 2011-20112 antara tuan rumah Fenerbahce dan tamunya, Manisaspor. Sebanyak 41 ribu wanita dan anak-anak pendung Fenerbahce penuhi Stadion Sukru Saracoglu pada lanjutan Liga Super Turki musim 2011/12.

Sebanyak 41 ribu wanita dan anak-anak pendung Fenerbahce penuhi Stadion Sukru Saracoglu pada lanjutan Liga Super Turki musim 2011/12.pri.org
Ketegasan berbumbu inovasi di Turki menjadi cerita dan warna baru yang akan terus dibicarakan bertahun-tahun.

Sementara ketegasan untuk kasus Liverpool pada 1985 tentu akan membuat membuat efek jera karena kerugiannya yang luar biasa. Tekanan dari publik sepak bola Inggris karena mereka ikut terkena imbasnya atau terhentinya kajayaan Liverpool di Eropa adalah konsekuensinya.

Bagaimana dengan di Indonesia? Mari ambil contoh saat Komisi Disiplin PSSI menjatuhkan sanksi kepada Persib karena kematian Ricko Andrean pada tahun 2017.

Saat itu Persib diputuskan dihukum menjalani lima laga tanpa dukungan suporternya. Kemudian hukuman itu diralat, bahwa laga-laga Persib tetap bisa disaksikan oleh penonton dengan syarat tak mengenakan atribut.

Dari sini, pihak yang bersalah tak akan pernah bisa belajar karena hukuman yang mereka dapatkan suatu waktu bisa diubah.

Padahal, kasus kematian Ricko Andrean saat itu bukanlah yang pertama kali terjadi akibat rivalitas bobotoh dan The Jak Mania. Kedua belah pihak suporter juga perlu bersikap dewasa dan tak gengsi untuk saling memaafkan atas kesalahan di masa lalu.

Sejatinya, kedua kelompok suporter ini saling bersahabat sebelumnya.
Kabar baik sempat berhembus saat ketegangan kedua kelompok suporter sempat mereda setelah kematian Ricko Andrean. Beberapa pihak dari kedua suporter saat itu merasa pertikaian mereka sudah salah arah.

Sayangnya, insiden memanas kembali di kalangan akar rumput akibat perselisihan di dunia maya yang merambat ke dunia nyata. Hingga akhirnya kini memakan korban jiwa lagi. 

Jika pihak-pihak terkait tak pernah mau belajar, maka sepak bola di negeri ini memang tak pantas untuk seorang loyalis seperti Haringga Sirla, Ricko Andrean, dan mereka semua yang telah mendahului kita. 

Soalnya, permasalahan ini hanya salah satu dari sekian banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi dari sepak bola Tanah Air. Meski begitu, suporter bisa setia dengan suatu klub atau tim yang didukungnya, meski sepak bola Indonesia kekeringan prestasi. (tas)