Dangkal Vs Dalam -->

Advertisement

Dangkal Vs Dalam

Admin
Sabtu, 11 Agustus 2018

Ilustrasi 
Dalam salah satu episodenya, Oprah Winfrey mengungkapkan sebuah hasil polling yang cukup menarik. Dari survei yang dilakukan, sebagian besar pemuda pemudi Amerika lebih memilih menjadi terkenal daripada menjadi pintar. 

Menjadi terkenal telah menyita pikiran sebagian besar manusia. Menjadi terkenal telah menjadi satu hal yang begitu di damba oleh manusia. Tak hanya di Amerika, fenomena serupa juga sedang menggejala di negeri tercinta ini. Bahkan, dengan berani saya mengatakan bukan sedang menggejala, tapi sudah lama telah menjadi arus besar dalam pikiran orang Indonesia. 

Lihat saja peserta audisi di TV. Ini sekedar contoh segelintir program. Pada musim pertama audisi itu diikuti oleh sekitar 35 ribu pemuda yang beradu nyali membuktikan penampilan diri, terutama dalam tarik suara. Di musim kedua angkanya merangkak naik lebih 37 ribu peserta yang mendaftar.

Lonjakan terjadi ketika kontes acara tersebut memasuki ketiga, sebanyak 48 ribu pemuda mendaftar untuk menjadi biduan atau biduanita. Dan pada putaran musim ke empat, tak kurang dari 50 ribu peserta yang mendaftarkan namanya sebagai calon bintang tarik suara. Musim terakhir, entah berapa yang mendaftarkan diri mengikuti audisi. 

Para pemuda dan pemudi itu, mereka datang dari tempat yang jauh. Menembus ngarai, bahkan badai. Mereka datang dari berbagai latar belakang, mulai anak petani sampai seorang pangeran dari keluarga kerajaan. Suku, ras dan golongan, lengkap tak ada yang kurang. Mereka rela kehujanan dan kepanasan. Antrian panjang tak menyurutkan keinginan, meski harus berjuang mempertahankan make up dan rias wajah lebih dari 12 jam. 

Mereka  yang mampu menyanyi, banyak jumlahnya. Tapi mereka yang tak bisa bernyanyi, bahkan bukan sekedar tak bisa, tapi menyedihkan jika tarik suara, merasa mampu membuktikan diri di depan juri.

Orang-orang berlomba berusaha untuk menjadi terkenal, meski dari awal ia sudah sadar ia tak memiliki kemampuan untuk terkenal. Tarikan untuk terkenal, bahkan telah mengalahkan nalar. Inilah zaman kita! Zaman ketika lampu sorot, panggung dan tepuk tangan lebih penting daripada pencarian makna kehidupan. Tiba-tiba kita mendapati, kita hidup dan berada ditengah kedangkalan. Dikepung oleh hal-hal yang dan serba instant. 

Menjadi dalam, serius dan lebih filosofis adalah sebuah keganjilan! Tentu saja bukan hal yang ringan untuk merebut kepopuleran. Sistem pasar hanya mengizinkan sedikit saja manusia untuk terkenal. Karenanya kita mengenal terminologi eliminasi, babak penyisihan atau sistem gugur dalam pertandingan. Bagaimana pun, tak semua orang mampu dan bisa menjadi terkenal. Lalu tersisih dan dieliminasi, menangis tersedu, meraung-raung, marah, memukul-mukul, kecewa dan begitu masygul. Jumlahnya bukan satu atau dua orang, tapi ribuan. Ini yang tak normal.

Hari ini, hidup kita sebagai manusia jauh lebih dangkal dibanding hitungan 14 tahun silam. Seharusnya kita memilih hidup yang lebih dalam, memaknai banyak hal, mencari alasan substansial dan menggali arti dari proses sejarah yang kita jalani. Bukan sekedar lahir, hidup, besar, lalu tiada dan dilupakan. Hidup ini jauh lebih besar daripada sekedar terkenal. 

Hidup ini jauh lebih penting dibanding dengan sorotan lampu dan tepuk tangan yang meriah meneriakkan nama kita. Semua orang harus mencari tahu, mengapa dan apa alasan Allah menciptakan kita sebagai manusia, sebagai Muslim, sebagai rakyat Indonesia, sebagai penduduk dunia. Sebab, "Rabbana maa khalaqtana hadza bathila." Allah tak pernah menciptakan sesuatu tanpa makna dan sia-sia."

Kedalaman hidup, itulah yang memberikan jaminan proses pencarian makna. Tanpa kedalaman menjadi kehidupan, kita akan menemukan diri sendiri, tidak ke mana-mana. Bahkan teman saya bilang, orang yang merasakan asam garam dalam akan mudah berkata sesuatu karena dia pernah gagal. Ibnu Taimiyyah juga pernah memerintahkan kepada muridnya untuk mencari tahu, "Apa sesungguhnya makna dari dirimu?" 

Sungguh, pertanyaan itu masih sangat relevan, bahkan lebih relevan untuk kita ajukan lagi sekarang. Apa sesungguhnya makna dari diri kita ini? Sebagian isi dalam rubrik dan segmen berita JCS adalah gugatan pada diri penulis sendiri. Bukan menggugat seseorang, apalagi satu golongan. Gugatan-gugatan yang terpikirkan, menghantui dan bahkan kadang meneror diri saya sendiri. Bagi saya, rasanya harus ada yang diluruskan dengan cara dan pola berpikir kita, baik sebagai manusia, terlebih sebagai seorang Muslim.

Selama setahun lebih sebagian tulisan yang ada di online JCS ini saya tuangkan dalam segmen religi. Rupanya, pertanyaan-pertanyaan itu berkembang. Menjadi semacam rangkaian, memiliki kurikulum, bahkan terus menerus melahirkan pertanyaan lain yang berkaitan. Mempertanyakan tentang tujuan manusia, pemikiran manusia, perilaku manusia dan banyak lagi. Dalam sebuah buku yang saya baca mengungkapkan rahasia besar yang mengubah sudut pandang kita, sebagai Muslim. 

Tanpa pikir panjang lagi saya setuju, karena memang jauh lebih bagus dan lebih menarik. Harapan kami sederhana, ingin pembaca menikmati tulisan yang ada di dalam rubrik religi khususnya. Tidak saja sebagai sekedar pertanyaan, tapi juga sebagai sudut pandang. Tidak saja sebagai sudut pandang, tapi juga sebagai aksi dan gerakan. Banyak proses yang harus saya ucapkan terimakasih atas online JCS. Teman-teman redaksi JCS yang tentu saja saya harus berterima kasih pada mereka semua.

Hadirnya JCS, didedikasi untuk semua pembaca yang ingin tak sekedar hidup. Tapi ada sesuatu yang jauh lebih besar dari hidup. Apa itu? Memanfaatkan sebesar mungkin sisa hidup kita. Dari detik ini sampai kita mati. Memeras hidup kita hingga keluar saripati yang paling mulia, till the last drop. 

Sebuah tujuan selalu memberikan warisan, pengalaman baik untuk diteruskan. Allahuma, ya Allah, hitung perbuatan kami sebagai amal ibadah untuk meninggikan agamaMu. Ya Rasulullah, akuilah kami sebagai umat dan orang-orang yang berhak atas syafaatmu. Wallahu a'lam.*