Bersabar dalam Kesadaran -->

Advertisement

Bersabar dalam Kesadaran

Admin
Selasa, 28 Agustus 2018

Ilustrasi 
Syahdan, hiduplah seorang penyihir jahat di dalam wilayah kerajaan yang kaya raya. Sang penyihir begitu terobesi untuk merebut kekuasaan dan menyingkirkan raja dan permaisurinya. Untuk mewujudkan usahanya itu, ia meramu sebuah ramuan khusus yang mampu membuat siapa saja yang menghirupnya, menjadi hilang ingatan dan berkelakuan gila. 

Di seluruh negeri ramuan ditebar dan ditaburkan. Dalam waktu singkat, seluruh penduduk di kerajaan itu menjadi kehilangan kewarasan. Perilaku gila melanda di mana-mana. Haja saja, permaisuri dan beberapa punggawa negeri yang masih memiliki kewarasan sejati. Tapi justru di sinilah letak ironi. Ketika semua orang telah menjadi gila, yang waras justru muncul dan nampak sebagai manusia paling gila. Rakyat pun berduyun-duyun menuntut raja dan permaisuri harus turun dari singgasana, karena tak sama dengan mereka.

Penyakit jahat terkekeh ria. Tapi raja tak mau kehilangan singgasananya. Ia mengetahui rahasia ramuan sang penyihir. Dan sang raja berkata pada permaisuri, "Kita harus menjadi bagian dari mereka, jika tidak ingin tertimpa bencana." Maka keduanya menghirup ramuan, dan dalam sekejap hilang kewarasan. Rakyat senang, menyambut kembali raja mereka yang telah lama hilang dalam kewarasannya. Dan seluruh negeri, kini telah gila. Kegilaan yang mereka anggap sebagai kewarasan. Kini tinggal penyihir yang bersedih, karena rencananya gagal lagi.

Menjadi orang baik yang hidup di negeri ini, Indonesia, lambat laun semakin terasa seperti menjadi rakyat yang waras ditengah masyarakat yang semakin menggila. Hukum, bukan saja semakin tak pasti, tapi semakin sulit diterjemahartikan. Ada gagasan absurd untuk memperbaiki nama baik para koruptor. Ada hutan yang gundul dan terbakar, tapi tak satupun pelaku ditemukan. Ada kesalahan kerja yang membuat belasan desa tenggelam dan ratusan rakyat sengsara karena lumpur. Ada kawasan pegunungan yang potensi emas (lahan subur penambang emas) buat adikuasa. Kasus PLTU, APBD, APBN, tapi tak satupun sanksi jatuh pada manusia yang paling bertanggungjawab atasnya. 

Dan yang semakin tak bisa diterima oleh jiwa yang waras, ada konspirasi, ada pembunuhan, ada tersangka, ada rangkaian kecurigaan, tapi semua berujung nada (tidak ada apa-apa, kosong). Misalnya terbunuhnya aktivis HAM, Munir. Sang tersangka, hanya didakwa tentang pelanggaran pemalsuan surat-surat dan dokumen penerbangan di dalam pesawat Garuda kala itu. Bagaimana bisa? bagaimana tentang jiwa yang melayang? Bagaimana dengan keadilan? bagaimana dengan hukum? Atas dasar apa negara ini dijalankan? Banyak lagi kasus yang merugikan rakyat namun tak jelas juntrungnya.

Jangan-jangan kita berada di sebuah negeri yang jauh lebih parah dari sekedar raja, permaisuri dan rakyatnya yang gila? Atau kita harus kehilangan kewarasan, satu-satunya harta yang paling berharga yang kita miliki, untuk terbebas dari kesengsaraan?
Tembang pupuh dalam Seret Chentini memuat gambaran kondisi ini berabad silam. Zaman yang disebut oleh Jayabaya, pujangga Jawa dan ahli jangka itu, sebagai Zaman Kelabendu: Wong agunge padha jail kurang tutur, marma jeng pamasa, tanpa paramarteng dasih, dene datan ana wahyu kang sanyata; yang artinya para pemimpin bersikap jahil, perkataannya ngawur dan tak bisa lagi dipercaya'.

'Keh wahyuning eblis lanat kang tamurun, apangling kang jalma, dumrunuh salin sumalin, wong wadon kang sirna wiwirangira; banyak wahyu yang turun, datang dari iblis laknat, dan manusia sulit membedakan. lalu perempuan, kehilangan rasa malunya'.
'Tanpa kangen mring mitra sadulur, tanna warna nyata, akeh wong mlarat mawarni, daya deye kalamun tyase nalangsa; manusia tanpa rindu pada sesama. Kemiskinan beraneka rupa, banyak yang menyedihkan kehidupannya'.

'Krep paparangan, sujana kapontit nurut, durjana susila dadra andadi, akeh maling malandang marang ing marga; peperangan sering terjadi, durjana semakin menggila. Dan para pencuri melenggang bebas di jalan raya'.
'Sitipati, nareprabu utamestu, papatih nindhita, pra nayaka tyas basuki, penekare becik-becik cakrak cakrak; Para pemimpin ngaku, semua berjalan baik-baik saja, dan rencana, sekedar menutupi berbagai bencana'.

'Nging tan dadya, paliyasing Kalabendu, mandar sangking dadra, rubeda angrubedi, beda-beda hardaning wong sangsara; inilah pertanda zaman kalabendu, kian lama, kesulitan semakin menggila. Beda-beda tingkah laku orang-orang senegara'.
Inilah negeri kita, Indonesia. Negeri yang sama-sama kita cintai. Betapapun sulitnya, kewarasan harus dijaga. Agar negeri ini kembali mampu mencatat sejarah baiknya. Karena, kaum Muslimin, menjadi penduduk paling besar di dalamnya. Dan Islam memiliki sejarah hikmah dan kebaikan yang luar biasa.

Kita harus ingat tentang sejarah betapa keadilan dan hukum telah dimenangkan atas kekuasaan, di zaman ali bin Abi thalib. Ketika itu, Imam Ali RA menjabat sebagai khalifah. Tak ada yang lebih tinggi darinya, kecuali Allah Subhanahu Wa Ta'ala Yang Maha Adil. Tapi ketika ia bersengketa dengan seorang Yahudi tentang sebuah baju zirah, pengadilan memenangkan penduduk Yahudi, seorang minoritas dengan negeri Muslim. Karena sang khalifah tak mampu menunjukkan bukti-bukti. Dan ia menyerah pada hukum. Toh, pada akhirnya kebenaran memiliki cara sendiri untuk muncul. Nah, sang Yahudi akhirnya memeluk Islam, karena akhlak sang khalifah yang menjunjung tinggi proses pengadilan. Subhanallah.

Pembaca JCS yang dirahmati Allah SWT, kita juga bisa mengingat tentang riwayat saat Amr bin al-Ash menjadi gubernur di Mesir dan bersengketa soal tanah dengan Nasrani. Oleh pengadilan, sang gubernur diputuskan untuk memberikan hak-hak penduduk Nasrani yang menolak menjual tanahnya pada rencana perluasan masjid. Saat itu, tak satupun hak penduduk Nasrani yang dilanggar oleh gubernurnya. Dan karenanya, begitu kagum sang Nasrani pada pelaksanaan hukum ia akhirnya memberikan tanahnya pada masjid, setelah mengucapkan Syahadat. MasyaAllah.

Bahkan, Rasulullah Shalallau 'Alaihi Wa Sallam sendiri, seorang pemimpin politik, pemimpin agama sekaligus negara, di akhir masa hidupnya, pernah meminta diqishas atas kesalahan-kesalahannya. Seorang meminta untuk membalas cambuk, karena Rasul pernah mencambuknya tanpa sengaja. Tapi seperti yang kita tahu, kisah ini berakhir haru, karena sang sahabat ingin kulitnya menyentuh kulit sang Rasul, demi cinta.

Agama ini, adalah agama yang begitu kaya hikmah dan kisah. Kisah-kisah di atas, pernah terjadi dan nyata. Keadilan memimpin negeri. Hukum berpihak pada hati nurani. Dan kewarasan menjadi satu-satunya alasan untuk ters bertahan hidup.

Jika ini pernah terjadi sekali, pasti mungkin dan bisa berulang, sekali. Karena peristiwa dalam sejarah, kapanpun dan di manapun, memiliki komposisi yang selalu sama; tanah, waktu dan manusia. Kita tidak boleh menyerah para kegilaan, betapapun telah terkepungnya segala kehidupan kita. Kita hanya perlu menjaga kewarasan, menggandakan kewarasan secepat mungkin, agar sejarah kebaikan bisa dengan cepat berulang. Insya Allah. Wallahu a'lam. Subhanakal lahuma wa bihamdika...*