Nafsu Muthmainah -->

Advertisement

Nafsu Muthmainah

Admin
Rabu, 04 Juli 2018

Ilustrasi 
Pemilik nafsu muthmainah, akan merasa damai denganNya, tenteram dan tenang dengan mengingatNya, suka kembali kepadaNya, merasa rindu berjumpa denganNya dan merasa senang berdekatan denganNya. Menurut Ibnu Abbas: Nafsu muthmainnah ialah nafsu yang membenarkan; nafsu ini dalam masalah asma' dan sifat Allah SWT, merasa tenteram dengan apa yang disampaikanNya tentang diriNya sendiri dan apa yang disampaikan oleh nabiNya tentang Dia. 

Kemudian ia merasa tenteram dengan apa yang disampaikan oleh Allah tentang apa yang terjadi sesudah mati, seperti kondisi alam barzakh dan hari Kiamat, hingga seolah-olah ia menyaksikan hal itu semua secara langsung.

Ketika diberi cobaan suka kembali kepadaNya, merasa rindu berjumpa denganNya dan merasa senang berdekatan denganNya. Bahkan ia merasa tenteram dengan takdir Allah SWT. Pasrah kepadaNya dan rela menerima ketentuanNya, sehingga ia tidak merasa kesal, tidak mengeluh, tidak goyah imannya. Ia tidak frustrasi terhadap apa yang tidak diperolehnya, dan tidak bangga dengan apa yang diterimanya.

Karena musibah itu telah ditetapkan sebelum sampai kepadanya dan sebelum ia diciptakan. Menerima dengan perasaan rela dan pasrah. Ketenteraman ihsan adalah ketenteraman terhadap perintah Allah dengan cara melaksanakan secara ikhlas dan penuh nasihat.

Tidak merasa damai dengan subhat yang bertentangan dengan informsiNya dan syahwat bertentangan dengan perintahNya. Jika syubhat atau syahwat itu melaluinya, ia memposisikannya sebagai was-was yang membuatnya merasa lebih baik dijatuhkan dari langit ke bumi daripada harus bertemu dengannya. 

Ini yang disebut Nabi SAW sebagai ketegasan iman. Betapa cepatnya dunia berlalu. Berdiri tegak di atas betis tekadnya yang kuat seraya berkata: "Sungguh besar penyesalan atas kelalaianku terhadap Allah." (Az-Zummar 56).

Sambut sisa hidup kita untuk mengejar apa yang dilewatkan. Dibawah cahaya kesadaran itu kita dapat melihat karunia Rabbnya dan ia melihat bahwa diri kita tidak mampu menghitungnya dan tidak sanggup menunaikan haknya. 

Ia juga melihat kekurangan diri kita dan malapetaka amal. Serta kejahatan dan keburukan yang pernah dilakukan, dan kemalasan dalam menunaikan banyak tugas dan kewajibannya. Wallahu a'lam. Shalallahu 'alihi wa sallam. Subhanakal lahumma wa bihamdika.*