Ilustrasi |
Hidup di desa serba tradisional, hidup di kota serba modern dan glamor. Masyarakat desa adalah masyarakat yang agraris, mayoritas masyarakatnya hidup dari proses pengelolaan sumber daya alam seperti bertani, berkebun, dan beternak. Lahan pertanian di desa masih sangat luas. Kebisingan deru mesin dan kendaraan bermotor tidak begitu banyak seperti di kota.
Apalagi kemacetan, hampir tidak dijumpai di pedesaan. Lahan-lahan di desa dipenuhi oleh hamparan sawah dan perkebunan, lahan di kota dipenuhi oleh industri, gedung dan tempat perbelanjaan, baik itu distro, toko, maupun mal.
Kita akan menemukan perdesaan antara perdesaan yang agraris dan kota yang industrialis jika pergi ke kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Medan. Lalu ke perdesaan seperti Sukabumi dan Cianjur. Di perdesaan Sukabumi misalnya, kita akan menemukan sawah-sawah dan ladang, serta lereng-lereng, bukit, gunung dan gemercik air sungai yang masih bersih. Kita menemukan susunan agraris dengan begitu kentara.
Sedangkan jika kita berkeliling Jakarta, akan dengan mudah menemukan industrialisasi seperti gedung pencakar langit, pabrik, dan mal yang berdiri dengan begitu megahnya. Masyarakat industri adalah masyarakat yang cukup sibuk. Hari-hari mereka dipenuhi dengan bekerja dan bekerja. Tuntutan perusahaan menyebabkan mereka harus bekerja dari pagi hingga sore, dari Senin hingga Jumat atau bahkan Sabtu.
Tidak jarang mereka juga lembur hingga larut malam di kantor untuk menyelesaikan deadline dan target. Perwajahan kota yang lain adalah penduduknya yang berpendidikan, cenderung bersifat umum. Hal ini berbeda dengan wajah masyarakat desa yang penduduknya cenderung berpendidikan agama. Kita banyak menemukan pendidikan agama seperti pesantren, madrasah, paud atau sekolah agama di desa.
Di perdesaan yang masyarakatnya lebih agraris dan tidak membutuhkan tersebut. Pendidikan di pesantren merupakan pendidikan teologi yang kurang mampu memenuhi tuntutan keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan di kota.
Rata-rata masyarakat desa agak tertutup dengan ide, pemikiran, dan budaya baru. Masyarakat desa tumbuh dari suku dan latar belakang budaya yang sama, sehingga secara pemikiran mereka cenderung homogen. Mereka memegang teguh setiap pemikiran dan budaya yang mereka miliki. Mereka khawatir dampak dari ide-ide baru akan menggerus nilai dan budaya yang sudah ada. Misalnya alat sistem bercocok tanam yang baru.
Mereka cenderung susah menerima sistem baru tersebut. Mereka harus diberi contoh dulu untuk meyakinkannya. Jika sistem tersebut sukses, mereka baru berbondong-bondong menggunakan sistem tersebut. Ciri kehidupan kota, informasi yang cenderung tanpa batas.
Dalam hal perkembangan informasi, kota adalah terdepan karena adanya ketersediaan infrastruktur yang menandai dan kecenderungan masyarakat perkataan yang cepat mengadopsi hal-hal baru. Belum lagi berkembangnya medsos fb, twitter, dan instagram, WA dll membuat orang semakin terhubung. Arus informasi semakin cepat dan tak terbatas.
Kalau di lingkungan perdesaan, tempat informasi yang diterima sangat terbatas karena keterbatasan infrastruktur penduduknya. Seperti jalan-jalan desa rusak, kalaupun jalan dibeton itu cuma sedikit. Ditambah lagi masalah klasik aliran listrik sering mati dan juga susah sinyal seluler. (tas).