 |
| Ilustrasi |
Larangan makan hak anak yatim sangat jelas dalam firman Allah SWT, Surah ke empat, An-Nissa ayat 10. Qatadah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki dari Bani Ghathafan yang menjadi wali harta anak lelaki saudaranya yang yatim lagi masih kecil, namun dia memakannya.
FirmanNya "Zhulman" yakni memakannya secara zalim, namun dikecualikan bila yang bersangkutan memakannya secara benar, misalnya sang wali memakannya sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan penjelasannya di dalam kitab-kitab fiqih. "Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari makanan harta anak yatim itu) dan barang siapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut." (An-Nissa: 6).
Yakni sesuai dengan kebutuhannya semata, atau memakannya secara hutang, atau sekedar imbalan upah lelahnya, atau memakannya karena terpaksa namun jika beroleh kemudahan akan membayarnya. Namun, pada prinsipnya diperbolehkan baginya memakan harta anak yatim menurut kadar yang patut.
Allah SWT telah memperingatkan dengan tegas hak anak-anak yatim dan menganjurkan agar mereka lebih diperhatikan melalui firman-Nya sebelum ayat di atas yaitu: "Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah SWT dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar." (An-Nissa: 9).
Ia dianjurkan untuk memperlakukan anak yatimnya dengan perlakukan yang baik, dan dalam pemanggilan hendaknya ia menganggap anak yatimnya bagaikan anak sendiri, karena sesungguhnya setiap amal perbuatan itu akan dibalas sesuai dengan jenis perbuatannya oleh Allah Yang Menguasai Hari Pembalasan. Sebagai mana anda berbuat, anda akan mendapat balasan yang setimpal. Wallahu a'lam. Sahallahu alaihi wa sallam. Subhanakal lahumma wa bihamdika...*