Aku Jauh, Engkau pun Jauh -->

Advertisement

Aku Jauh, Engkau pun Jauh

Admin
Senin, 18 Juni 2018

Cuplikan Video Klip Bimbo / Youtube
'Aku jauh, Engkau jauh, Aku dekat, Engkau dekat, Hati adalah cermin'. Nah, secuplik bait syair lagu Bimbo di atas benar-benar kita rasakan sebagai cermin tentang hubungan manusia dan penciptanya. Aku dekat, Engkau dekat, aku jauh, Engkau pun menjauh. 

Dalam proses keberagamaan di negeri tercinta ini, tentulah sudah mendarah daging konsep kedekatan dan jarak antara kita sebagai pemeluk agama, dengan Tuhan, seperti tersirat dalam syair Bimbo tadi. Tapi ada kerikil kecil, sebuah pertanyaan yang harus kita jawab tentang jarak kita dengan Tuhan, atau cara kita mendekati Tuhan. 

Sejauh pengalaman yang dirasakan, sebenarnya kita belum pernah benar-benar dekat, atau bahkan tidak pernah mendekat pada Tuhan dalam arti sesungguhnya. Yang ada adalah, Tuhan, oleh agama yang kita yakini, dipaksa untuk mendekat pada kita yang sedang berdiri 'ngungun' dalam waktu. Atau sebaliknya, kita lewat agama memaksakan diri untuk mendekati Tuhan.

Pertanyaannya adalah, apakah untuk dekat pada Tuhan, baik mendekati atau didekatkan, manusia perlu sebuah agama? Apakah agama benar-benar bisa merepresentasikan Tuhan untuk manusia? Lalu, agama mana pula yang bisa mewakili Tuhan? 

Subhanallah. 'Kedekatan' kita dengan Tuhan, selama ini, bisa jadi satu kesalahan memberi nama sebuah proses. Sesungguhnya, yang benar-benar kita dekati adalah agama, bukan Tuhan, atau belum pada Tuhan. Itu pun lagi-lagi diwarnai oleh relativitas yang pekat akibat beberapa faktor. 

Pertama, faktor sejarah dalam hidup kita. Jika orang tua dan nenek moyang kita adalah Islam, tentu saja kita akan tumbuh menjadi anak Islam. Begitu juga yang terjadi jika sejarah keturunan kita beragama lain, seperti Nasrani atau Yahudi. Kita tumbuh besar dalam sebuah agama yang belum kita ketahui esensinya secara langsung. Kita dewasa dengan nilai-nilai yang sudah ada jauh sebelum kita lahir, sementara kita belum punya kesadaran independen untuk menilai dan memutuskan mana yang baik dan mana yang tidak untuk diri sendiri. 

Faktor kedua, adalah nilai-nilai, yang lagi-lagi sudah lebih tua dari umur kita. Nilai-nilai yang sudah menjadi dogma. Ajaran tentang baik dan buruk, surga-neraka, halal-haram dan sebagainya. Faktor selanjutnya adalah institusi atau lembaga dalam bentuk apa saja. Karena kita tumbuh dalam dogma-dogma yang juga banyak dialami oleh orang lain, maka berkumpullah orang-orang yang sama seperti kita dan secara tak langsung terbentuklah sebuah institusi. Institusi di sini tentu saja tidak mati berbentuk sebuah organisasi dengan struktur yang jelas. Institusi bisa berarti apa saja, cara pandang masyarakat, hukum adat sampai institusi yang benar-benar sebuah lembaga. Misalnya sebuah ordo tersendiri dalam satu agama. 

Jika kita tumbuh dalam keluarga muslim kalangan Nahdliyin, maka otomatis, Islam kita adalah Islam Nahdlatul Ulama. Jika kita dewasa dalam lingkungan Muhammadiyah, maka secara otomatis juga kita akan menjadi Muhammadiyah. Begitu juga jika kita mempunyai komunitas khusus dalam kelompok Tarbiyah, Daarut Tauhid, Jamaah Tabligh, Hidayatullah, Hizbut Tahir, maka hampir bisa dipastikan, Islam kita pun akan seperti jamaah-jamaah ini. Jika besar dalam kalangan NU, maka bisa jadi kita sangat sunni. Jika besar di Muhammadiyah, bisa jadi paham yang dominan adalah gerakan modernisasi dalam berIslam. Begitu juga, kedekatan kita dengan Tarbiyah, Daarut Tauhid, Jamaah Tablig dan yang lainnya akan mencerminkan ciri sendiri yang khas dalam proses kita ber-Islam. 

Belum lagi pendekatan kalangan sufi, maka ber-Islam dan ber-Tuhan cara sufi adalah penuh cinta dan tak ada yang lain melebihi cinta itu sendiri. Hidayatullah misalnya, mempunyai trayek khusus mendekati Allah lewat sistematika wahyunya.

Menusia, seorang hamba harus melalui tahapan-tahapan Al-Haq: membaca dan memahami bahwa menuju halte berikutnya dan berikutnya, Al-Qalam, Al-Mudatsir, dan Al-Muzammil sebelum sampai pada Al-Fatihah dan menjadi insan kamil. Tarbiyah, tahapan-tahapannya sedikit lebih banyak-untuk menghindari penyebutan rumit-ada fahim, ikhlasm amal, jihad, tadhhiyah, taat, ta'rif, takwim, tanfiz, sabth, tajarrud, ukhuwah dan tsiqah. 

Masing-masing akan punya jalur sendiri dalam ber-Islam, untuk lalu mendekati Tuhan. Ini belum lagi ditambah dengan varian masalah seperti senioritas, bid'ah, dan yang paling berbahaya, muncul dan tumbuh, serta dijaga dengan kekuatan penuh sebuah dominasi kebenaran. Semua baik-baik saja; halal-halal saja, selama tidak ada bid'ah. Masing-masing tidak salah, tapi belum tentu sepenuhnya benar. Semua, tak satupun ada yang tahu, mana di antara mereka yang menjadi jamah Muhammad SAW, kelak di hari kiamat. Masing-masing memang tidak salah.

Tapi bagaimana jika kita lahir, tumbuh dan besar di kelompok lain yang sebagian besar kelompok lainnya dianggap salah dan penuh bid'ah? Seperti Syiah, atau Jamaah Salamullah (Lia Aminuddin) dan lainnya.

Pendeknya, akan tersusun sebuah cerita pendek tentang perjalanan kita dalam beragama dan bertuhan. Lahir di tengah-tengah masyarakat beragama. Besar dan tumbuh dewasa dalam nilai-nilai agama pada masyarakat tersebut. Dan untuk selanjutnya bergabung dengan yang lain, menjadi bagian dari masyarakat kelompok-kelompok agamanya berlanjut. 

Itulah yang sebenarnya banyak terjadi atas hubungan kita dengan agama dan Tuhan sampai kemudian kita memutuskan untuk menghentikan mata rantai ini dan mulai mengurangi pendekatan baru. Mari mengeja lagi nama Allah, dan menata ulang cara berpikir kita tentang Islam. Dan ini yang bisa kita namakan merekontruksi hubungan kita, agama dan Tuhan. Wallahu a'lam. Shalallahu alihi wa sallam. Subhanakal lahumma wa bihamdika...*