Hikmah Pertemuan -->

Advertisement

Hikmah Pertemuan

Admin
Selasa, 08 Mei 2018

Ilustrasi 
Satu lagi bukti tentang janji-janji Allah SWT, saya temukan. Suatu ketika, saya melakukan perjalanan ke beberapa daerah, Ponpes di Leles, Sagaranten Sukabumi, Cianjur, Banten, Gegerkalong Bandung, Solo Jawa Tengah. Juga silaturahmi ke Ponpes Almukmin, Ngruki. Pesantren yang saat itu dipimpin oleh Ustadz Abu Bakar Ba'syir.

Ma'lum saya punya karakter yang berbeda, lagi pula profesi hobi tulas tulis masih nempel melekat, dan serba ingin mencoba (tahu-red). Singkat cerita, hampir seharian saya bercengkrama dengan warga Al-Mumin. Topik obrolan mulai dari pertanyaan kabar sampai gagasan-gagasan penerapan syariat Islam. Setelah hari menjelang sore, saya memohon diri untuk kembali ke pusat kota, Solo. Kebetulan ada kenalan marga Tiong Hoa, Pak Edi, pengusaha teh peko yang bahan mentahnya dikirim dari Nyalindung Sukabumi.

Nah, untuk kembali, saya harus berjalan kaki ke jalan besar atau menyewa becak sampai tujuan. Karena sudah cukup lelah, ospi kedua jadi pilihan. Di ujung gang Ngruki, hanya ada satu becak dan penariknya, sudah sangat sepuh, mungkin lebih sepuh dari Ustadz Abu Bakar Ba'asyir. Saya langsung menyepakati harga yang ia ajukan, dan pedal becak muali diboseh (dikayuh-red) ke tujuan.

Sepanjang jalan, kami bercengkrama. Namanya, sebut saja pak Karto (60). Asli Ngruki dan mengaku kenal dengan Ustadz Abu Bakar Ba'asyir. Tiba-tiba perasaan saya diselimuti rasa sedih. Pedih merasakan pak Karto yang hingga usia sepuhnya, belum juga punya kesempatan pensiun. Dua sosok membayang di depan mata saya. Satu Abu Bakar Ba'syir, satu lagi pak Karto. Sama-sama dari Ngruki, sama-sama seusia, tapi begitu berbeda perjalanan hidupnya. Yaitu, mungkin tak pernah beranjak dari Surakarta. Sedang yang satu lagi, begitu mendunia. Abu Bakar Ba'syir, siapa yang tak mengenal namanya.

Kisah yang nyaris sama saya jumpai ketilka sowan ke Pesantren Gontor, Ponorogo. Dalam beberapa perjalanan, saya menumpang ojek, pak Slamet nama pengendaranya. Ia dengan bangga menceritakan bahwa dirinya teman satu SD dengan Mas Hamid Fahmy Zarkasih, salah seorang keluarga besar pengurus Pesantren Gontor yang menuntut ilmunya di Malasysia.

Sebelumnya, saya telah kenal dengan Mas Hamid, dan saya diberi kesempatan Allah SWT untuk kenal beliau. Mereka berdua tumbuh bersama, tutur pak Slamet. Tapi kini saya melihat keduanya menempuh perjalanan yang sangat jauh berbeda. Mas Hamid menjadi salah seorang motor penggerak dan pemikir Muslim yang sedang menggalang perlawanan terhadap ide-ide sekuler dunia. Sedang pak Slamet, waktu di sana, sampai larut malam masih saya temui berjaga dengan sepeda motornya.


Maaf, bukan bermaksud mengadili hidup Pak Slamet atau Pak Karto, tapi saya memetik hikmah dari pertemuan dengan keduanya. Dan hikmah itu adalah, ilmu benar-benar membuat derajat manusia lebih tinggi dari sebelumnya. Ilmu adalah kunci yang membuka gerbang kehidupan yang lebih luas dan lebih dalam. Ilmu adalah sebuah penentu, seberapa manfaat yang akan kita berikan dalam kehidupan ini.

Sekarang pertanyannya adalah, mana yang akan kita pilih, menjadi pengagum dan bangga dengan orang-orang yang berpengaruh karena ilmunya, atau menjadi orang berilmu itu?

Mudah-mudahan kita tak salah memilih. Sebab, banyak jebakan dan terjal untuk menjadi orang berilmu. Wallahu a'lam. Shalallahu 'alaihi wa sallam. Subhanakal laahumma wa bihamdika.