Bangsa Yang Besar -->

Advertisement

Bangsa Yang Besar

Admin
Selasa, 15 Mei 2018

Presiden pertama RI Ir. Soekarno
Presiden pertama RI Ir. Soekarno pernah mengatakan, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenang jasa-jasa para pahlawannya. Tapi tampaknya, kalimat sang proklamator tersebut perlu diimbuhi beberapa kalimat lagi. Bahwa yang besar, seharusnya tak hanya menghargai jasa para pahlawannya, tapi bangsa besar juga tidak boleh berhenti menghasilkan dan melahirkan pahlawan-pahlawan barunya. Sebab jika tidak, maka tak ada bangsa besar. 

Dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun terakhir, sebagai bangsa kita mengalami berbagai peristiwa dahsyat. Kita pernah krisis besar di bidang ekonomi, yang mengantarkan kita pada krisis selanjutnya, di ranah politik. Dan tahun-tahun itu, begitu berat, bahkan masa depan terasa buram. Hingga kini, kita belum benar-benar pulih. Jejak krisis ekonomi masih kita rasakan di Indonesia. Dua krisis di atas, memicu berbagai krisis yang lebih tajam lagi. Orang-orang dengan perut lapar, memiliki emosi yang lebih mudah terbakar. 

Kerusuhan dimana-mana, dengan alasan agama atau bukan, dengan alasan kesenjangan sosial atau bukan, dengan alasan politik kekuasaan atau bukan. Semua bisa menjadi mudah sebagai alasan pemicu kekerasan. Baru saja gara-gara perut lapar, Wawan Setiawan marah hingga berujung insiden maut di Mako Brimob. Bola panasnya liar kemana-mana. Berawal dari itu saja menyulut kemarahan kawan-kawannya. Ledakan bom di gereja-gereja dan Polrestabes Surabaya. Sedikitnya 25 orang meninggal dunia dan puluhan orang luka-luka. Belum lagi kita berdiri tegak setelah badai krisis, bencana alam datang bertubi-tubi menghajar. 

Berbagai peristiwa terjadi berjajar-jajar, dari sabang sampai meroke. Jika menghitung, dada terasa sesak untuk sekedar mengambil nafas panjang. MasyaAlloh. Ini masih belum lagi ditambah dengan krisis yang membuat berbagai krisis yang kita alami semakin tak terkendali dan tak teratasi. Kita belum lagi keluar dari krisis kepemimpinan. Seharusnya, berbagai peristiwa dan pengalaman besar, melahirkan orang-orang besar.  Mengapa tidak ada pahlawan-pahlawan yang hadir bersama peristiwa besar. Apakah tidak ada darah kepahlawanan pada lebih dari 250 ribu jiwa rakyat Indonesia? Apakah kita ini bangsa besar dengan manusia-manusia berjiwa kerdil? Apakah kaidah yang diucapkan oleh filsuf Yunani Kuno, Aeschylus, sudah tidak berlaku lagi? "The reward of suffering is experience. From experiences we can learning everything." Bukankah kita sudah melalui berbagai peristiwa besar dengan kadar kesengsaraan yang juga tidak ringan? Lalu kenapa tidak menjadi pengalaman yang kemudian melahirkan para pahlawan? Jangan-jangan kita tak pernah belajar dari pengalaman sendiri yang telah begitu menyakitkan?

Ketika Bangladesh bersama Muhammad Yunus, dimana garis kemiskinan semakin melebar dan angka pengangguran kian tinggi tak terikan. Dan dunia pun mengakuinya. Nobel perdamaian dianugerahkan padanya sebagai bentuk penghargaan atas usahanya memerangi kemiskinan. Muhammad Yunus benar-benar berperang melawan kemiskinan dan rendahnya pendidikan rakyat Banglades. Karena perangnya itu pula ia menjadi pahlawan bagi rakyat miskin, dan menjadi inspirasu bagi penduduk dunia, dan seharusnya menjadi inspirasi pula bagi kita, rakyat Indonesia. Perang atas kemiskinan, berubah penghargaan tertinggi di bidang perdamaian.

Dulu, prestasi pembangunan ekonomi Indonesia pernah disanjung oleh Bank Sunia, IMF, dan ADB pada pertengahan 1990 sebagai salah satu keajaiban Asia Timur (East Asian Miracle). Tapi ternyata semua bersifat semu. Karena fundamental ekonomi yang kita bangun, terutama sejak swasembada beras 1984, sangat rapuh (a bubble economy).

Transformasi struktur ekonomi dari dominasi sektor primer (pertanian, kelautan, dan perikanan, kehutanan) ke sektor sekunder dan tersier tidak diimbangi dengan transformasi struktur ketenagakerkaan. Sumbangan sektor primer terhadap PDB menurun drastis; total angkatan kerja Indonesia sampai sekarang masih bekerja di sektor sekunder (industri manufakturing dan pengolahan) yang sebagian besar berupa foot-lose industries' dan infort content-nya sangat tinggi. Sehingga, ketika nilai rupiah terdepresiasi akibat krisis moneter medio 1997, kebanyakan industri Indonesia berguguran dan tidak sedikit yang gulung tikar, kaya pabrik Nusamba Sukanagara dan lainnya. Lebih dari itu, sektor sekunder dan tersier tidak mampu menampung kelebihan tenaga kerja (spill over) dari sektor primer.

Pembangunan ekonomi terlampau bergantung pada utang luar negeri yang digunakan secara kurang produktif, banyak kembali ke negara peminjam (dalam bentuk fee untuk konsultan asing, pembelian barang dan teknologi), dan banyak dikorupsi oleh pejabat kita sendiri. Sampai saat belilitan utang luar negeri mencapai lebih 3.735 trilyun rupiah dolar AS.

Tingkat investasi kita rendah, bahkan berbanding Vietnam dan Laos pun, kita bisa berbangga. Tahun-tahun lalu, Indonesia berada satu kelas dengan Malaysia dan Thailand yang diprediksikan akan menjadi negara industri baru. Tapi staus itu kini turun. Kita di level yang sama dengan Vietnam yang baru pulih dari perang besar dengan Amerika tahun 1970. Jadi, iklim investasi di Indonesia hanya lebih tinggi sedikit di atas Laos, bahkan dari Timor Leste yang baru lepas dari status Provinsi ke-25 Republik Indonesia. Nah, untuk menjadi besar, bangsa ini seharusnya sudah tidak lagi fokus pada permasalahan-permasalahan yang mengepungnya. Karena, fokus pada permasalahan menyebabkan pandangan kita pada tujuan final menjadi kabur dan buram. Permasalahan selalu datang silih berganti, tak pernah henti.

Dan jika kita tersita pada itu semua, bangsa ini tidak akan maju, akan tetap jalan di tempat. Kata sejarawan dulu, Malik, mengatakan kaidah tumbuhnya suatu peradaban atau sebuah bangsa. Menurutnya, ketika sebuah bangsa mencapai puncaknya, maka kita akan mengetahui, hal-hal yang bersifat spiritual, semangat jiwa dan pengorbanan pada cita-cita mulia adalah pokok-pokok yang mengantarkannya sampai ke-puncak.

Tapi ketika sebuah bangsa mengalami stagnasi, kita akan melihat, betapa di seluruh sisi kehidupannya didominasi oleh nilai-nilai rasional. Dan ketika sebuah bangsa meluncur turun menuju dasar cawan keruntuhan, maka saat itu nilai-nilai yang berkuasa adalah dominasi syahwat. Sunatullah memang! Tapi dimana letak bangsa Indonesia kini? Jelas bukan pertama, karena seluruh indikasi yang ada menunjukkan kita nilai-nilai spiritual dan cita-cita besar agar Indonesia kembali bangkit bersama. (tas/rus).