Oposan Sejati -->

Advertisement

Oposan Sejati

Admin
Selasa, 24 April 2018

Ilustrasi 
Setelah Rasulullah SAW wafat sampai menjelang wafatnya sendiri, Abu Dzar telah melakonkan peran yang tidak gampang. Menjadi oposan, ia adalah kekuatan oposisi, meski hanya sendiri. Dari lembah ke lembah ia berkelana. Mengingatkan para penguasa untuk hidup benar dan baik. Di negeri dengan penguasa tak adil, Abu Dzar laksana lebah ratu yang menyedot dan mendapat dukungan dari orang-orang yang kalah dan dikalahkan. Dengan pedang, juga dengan ujar, dia menjadi oposan. Mendengung-dengung, menuntut kebenaran dan keadilan ditegakkan. Di negeri-negeri adil, ia menjadi pengingat, bahwa seharusnya penguasa setelah Rasulullah jangan sekali-kali meninggalkan teladan. Jangan hidup kisra-kisra atau para malik sebelum Islam dan sebelum Rasul datang. Dan Abu Dzar adalah kekuatan penyeimbang.

Kekuatan penyeimbang itu pula peran yang dimainkan oleh banyak ilmuwan dan intelektual. Di Barat, para ilmuwan dan intelektual kerap kali kita temui bersifat ke kiri-kirian. Sedangkan di negara-negara komunis, mereka selalu tampak berperan ke kanan-kananan. Ini adalah tabiat orang-orang yang selalu gelisah jika melihat kekuasaan absolut yang bisa saja menjelma menjadi tiran. Dan oposan adalah pilihan peran yang tidak gampang. Oposan sejati selalu dilukiskan dengan sadar. Tidak karena sakit hati, atau karena posisinya sebagai pecundang. Oposan sakit hati dan para pecundang hanya sebentar, mereka tak tahan lama, tak pula tahan godaan. Para oposan sejati adalah mereka yang memegang teguh akal sehat dan murni. Bukan karena kalah atau sakit hati.

Peran oposan benar-benar tidak gampang. Sebab, mereka akan selalu hidup dalam kesepian. Nurani dan akal sehat saja yang membuat mereka bertahan. Sebaik apapun penguasa, selamanya tak ada jaminan untuk tidak menyimpang. Kadang dengan dalih strategi, kebenaran, dan kebaikan menjadi nomor sekian. Hanya oposan-oposan sejati yang mampu memainkan peran sebagai sparing partner bagi penguasa yang baik, dan menjadi 'slilit' bagi penguasa zalim. Sebab, kekuasaan selalu menawarkan godaan yang tidak pernah terbayangkan. 

Tapi sekali lagi, menjadi oposan tidaklah gampang. Bukan saja karena godaan tahta, harta, wanita, tapi juga kesepian. Mereka yang tak sejati, tak pernah kuat dirajam sepi. Berteriak ketika orang-orang diam, selalu membutuhkan keberanian lebih. Ditinggalkan oleh orang-orang sekitar, selalu menjadi siksaan tersendiri bagi orang-orang yang beroposisi. Pun ketika banyak orang mengagumi, sesungguhnya oposan selalu sepi meski dalam keramaian.

Begitu juga Abu Dzar hingga wafatnya. Terasing di sebuah gurun, dirajam sepi, tentu saja dengan keadaan yang lebih tak pasti. Bahkan kain kafan pun ia tak punya yang cukup panjang untuk menutupi tubuhnya. Tapi hanya orang-orang seperti ini yang mampu memberikan suara ketika sepi, mampu menjaga akal sehat ketika semua orang tergoda untuk gila, dan tak pernah lelah mendengarkan dan menyuarakan nurani. Sebab itu pula, kita punya hutang yang tak pernah bisa dibayar pada Abu Dzar dan kaum oposan sejati. Bukan oposan sakit hati atau pecundang yang ingin balas dendam. Wallahu a'lam.*