Pendidikan Dalam Refleksi -->

Advertisement

Pendidikan Dalam Refleksi

Admin
Selasa, 20 Maret 2018

Ilustrasi 
Sungguh miris pendidikan di negeri ini. Entah apa yang dikejar, kualitas atau kuantitas. Secara kuantitas, pendidikan di Negara kita sungguh mencengangkan. Jika dibandingkan dengan mata uang suatu negara, nilai uang tersebut sudah diambang inflasi, di mata uang tersebut tertera $1000 akan tetapi hanya mampu membeli balpoint. Seolah nilai mata uang besar tetapi tidak bernilai apa-apa.

Ketika nilai pendidikan secara kuantitas tinggi maka tingkat kebodohan di Indonesia semakin rendah. Efek dari rendahnya nilai kebodohan tersebut adalah meningkatnya nilai kesejahteraan. Namun apa yang terjadi, ternyata fakta di lapangan yang terjadi adalah sebaliknya.

Secara kualitas nilai pendidikan di Indonesia cukup tinggi pula, banyak orang-orang yang berkualitas seperti juara olimpiade, profesor, teknokrat, doktor, magister, sarjana, peraih award, dan sebagainya.

Akan tetapi mengapa tingkat kemiskinan begitu tinggi?

SMK kejuruan menjamur di tiap kecamatan akan tetapi life skill masih jauh dari yang diharapkan. Kita masih kalah bersaing dengan Cina dalam memperoleh pekerjaan. SMA IT mulai tumbuh di mana-mana akan tetapi korupsi, kejahatan, tawuran antara pelajar masih terjadi di mana-mana. SMA sedikit mulai terlupakan karena munculnya SMK Kejuruan dan SMA IT. Akan tetapi kualitas out put nya masih harus dipertanyakan. Karena terlalu mengagungkan Intelektual Questions (IQ) sedangkan Spiritual Questons (SQ) sangat sedikit bahkan minim sekali. Maka yang menjadi penengah semua itu MA dan MAK. MA dan MAK mulai menggeliat dalam peningkatan kualitas pendidikan. Ia memperjuangkan ketiga kecakapan dan kecerdasan personal dan sosial seorang peserta didik.  Ia memupuk Intelektual Questions (IQ), Emotional Questions (EQ), dan Spiritual Questions (SQ).

Perguruan Tinggi (PT), Institut, Universitas, Akademik, dan Sekolah Tinggi menjamur dimana-mana. Akan tetapi sungguh miris kualitas dan kuantitas outputnya yang menjadi persoalan. Sekarang ini kita seolah menjadi babu di negeri sendiri. Miris bukan? Mengapa begitu? Karena semua lulusan mencari pekerjaan bukan menciptakan lapangan kerja. Yang kedua, kita semua mencari ijazah untuk kerja tanpa menghiraukan isi konten ijazah tersebut. Di sinilah letak korelasi nilai dengan kecakapan hidup.
Terkadang saya sendiri tersenyum, jika membayangkan semua lulusan di tiap jenjang sekolah. Misalkan, di negara kita setiap tahun meluluskan sekitar 1000 lulusan sekolah dasar (SD). Dari 1000 orang tersebut sekitar 980 orang melanjutkan ke jenjang SMP/MTs. Sisanya 20 orang tidak melanjutkan karena terhambat faktor ekonomi. Dan ia menjadi pencari pekerjaan.  Kemudian, dari 980 orang ternyata 2 orang berhenti dari sekolah karena berbagai faktor. Mereka pun menjadi pencari pekerjaan. Sisa yang masih sekolah tingkat SMP/MTs adalah 978 orang dan mereka semua lulus. Ternyata dari 978 orang tersebut sekitar 20 orang tidak melanjutkan sekolah karena berbagai faktor. Mereka pun akhirnya menjadi daftar pencari kerja. 

Tersisa hanya 958 orang yang melanjutkan ke SMA/MA/SMK dan ternyata mereka selesai dan lulus tingkat SMA/MA/SMK. Pada jenjang ini, paling banyak tidak melanjutkan keperguruan tinggi. Dan mereka pun otomatis masuk ke dalam daftar pencari kerja.  

Saya asumsikan yang melanjutkan sekolah hanyalah 400 orang dan semua di wisuda. Ternyata hampir setengahnya dari yang di wisuda adalah mencari pekerjaan. Berarti yang tersisa adalah 200 orang melanjutkan ke jenjang magister. Akhirnya dari 200 orang tersebut yang melanjutkan ke program doktoral hanya 10 orang. Sisanya adalah mencari pekerjaan. Sepuluh orang akhirnya selesai masa belajarnya dan siap-siap terjun dan mengabdikan ilmunya di masyarakat pendidikan khususnya. Berarti mereka pun mencari pekerjaan.

Pertanyaannya SIAPA YANG MENCIPTAKAN PEKERJAAN JIKA DARI LULUSAN SD SAMPAI LULUSAN DOKTORAL SEMUA MENCARI PEKERJAAN? Mereka semua bersaing untuk mencari dan mendapatkan pekerjaan. Maka yang tersisih adalah mereka yang memiliki ijazah rendah. Inilah yang cikal bakal pencipta pekerjaan yang mempekerjaan orang-orang cerdas. Yang kedua, yang menciptakan dan memberikan pekerjaan adalah tamu asing. Di sinilah orang-orang yang memiliki ijazah rendah harus bersaing dengan tamu asing. 

Siapa yang kalah? 
Pantaskah kita menjadi pembantu di rumah sendiri?


Penulis:Taufik Hidayat